Rabu, 07 Juli 2010

Dalam Pidatonya Obama Menyitir : Hadist Nabi Muhammad SAW


TIDAK ada seorang pun diantaramu yang beriman sampai dia mendoakan saudaranya seperti ia mendoakan dirinya sendiri.

Salah satu hadist Nabi Muhammad SAW seperti yang diriwayatkan Imam Al Bukhari itu dikutip Presiden Amerika Serikat Barack Hussein Obama, Jr. saat memberikan sambutan pada National Prayer Breakfast di Hotel Hilton, Washington DC, Kamis pagi (5/2) atau Rabu dinihari WIB (6/2).

Juga dimuat di myRMnews.

Dengan mengutip hadist ini Obama hendak menegaskan kembali keyakinannya bahwa tak ada satu agama pun yang menjadikan kebencian sebagai inti dari ajarannya, serta tidak ada Tuhan yang memperbolehkan umat-Nya menghabisi hidup manusia lain.

Obama mengajak para pemuka agama dan tokoh bangsa serta politisi dari berbagai negara yang menghadiri National Prayer Breakfast itu untuk tetap mengingat bahwa kebencian dan konflik yang terjadi di era modern ini seringkali diakibatkan oleh kesalahan dan kekeliruan dalam membaca dan memahami teks kitab suci. Seringkali pula agama dan ajaran agama dijadikan alasan suci yang tak terbantahkan untuk melakukan kekerasan kepada kelompok lain.

Semua agama, sebut Obama, baik Islam, Kristen, Yahudi, Hindu dan Budha, Konghucu, maupun penganut ajaran kemanusian memiliki hukum emas (Golden Rule) yang sama, yakni mengajak para pemeluknya untuk mencintai dan menghargai sesama manusia.

“Apapun yang kita pilih sebagai keyakinan kita, marilah kira mengingat bahwa tidak ada agama yang menjadikan kebencian sebagai inti dari ajarannya,” ujar Obama.

Wakil Presiden Jusuf Kalla, Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin dan mantan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra, termasuk di antara sekitar seribu tokoh agama dan politisi yang diundang menghadiri kegiatan itu.

Kehadiran Obama yang baru belasan hari memimpin negeri adidaya ini dalam NPB pertama yang diadakan di masa pemerintahannya sempat simpang siur. Maklumlah, saat ini Obama tengah menghadapi saat-saat yang terbilang genting di awal pemerintahannya.

Setidaknya, empat dari kandidat menteri yang diusulkannya kepada Kongres AS terganjal kasus korupsi dan pengemplangan pajak di masa lalu. Sementara rancangan stimulasi ekonomi yang diusulkannya ke Kongres mendapat perlawanan ketat dari kubu Republikan walau akhirnya disetujui pada hari Jumat ini waktu setempat (6/2) atau Sabtu dinihari WIB (7/2) .

Namun akhirnya Obama menyempatkan diri untuk hadir dan memberikan sambutan dalam kegiatan yang telah menjadi tradisi sejak puluhan tahun silam. National Prayer Breakfast diselenggarakan setiap hari Kamis pertama bulan Februari. Dalam kesempatan ini, para pemimpin Amerika duduk bersama untuk memanjatkan doa agar negeri itu dapat menghadapi berbagai persoalan yang menghadang mereka. Beberapa tahun terakhir, tokoh agama dan politisi dari berbagai negara pun dilibatkan dalam kegiatan ini.

Seperti biasa, senyum Obama mengembang saat memasuki ruang pertemuan. Obama melambaikan tangannya ke arah peserta. Perhatiannya sempat berhenti saat melihat Wapres Jusuf Kalla yang berdiri di barisan depan, di meja nomor 4. Kalla pun melambaikan tangan ke arah Obama.

Kehadiran Kalla dalam National Prayer Breakfast ini menjadi istimewa karena dia adalah tamu negara pertama yang diterima oleh pemerintahan Obama. Sehari sebelumnya, Jusuf Kalla mengadakan pertemuan dengan Wapres AS Joe Biden di West Wing, White House, Washington DC. Dalam pembicaraan tersebut Joe Biden berkali-kali mengatakan betapa Obama baik secara pribadi maupun sebagai presiden Amerika Serikat memberikan perhatian luar biasa kepada Indonesia dan peranannya di panggung politik internasional. Bukan saja karena Indonesia adalah negara berpenduduk Muslim terbanyak di dunia, namun juga karena dalam satu dekade terakhir Indonesia berhasil menempatkan diri sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah AS dan India. Dunia internasional pun diharapkan dapat belajar dari pengalaman berharga yang dimiliki Indonesia dalam menghadapi konflik dan kekerasan komunal di sejumlah daerah di Indonesia.

Jusuf Kalla pun diberi kesempatan menjadi pembicara kunci dalam santap siang yang dilakukan sehari sebelum National Prayer Breakfast (4/2). Dalam pidatonya, Jusuf Kalla membagi cerita mengenai pekerjaan besar Indonesia menghadapi dan menyelesaikan konflik secara damai di sejumlah daerah.

Tafsir yang sempit terhadap ajaran agama, kata Kalla, pun seringkali menjadi faktor pendorong yang memperparah konflik. Dalam sejumlah kasus, tokoh agama tidak bertindak sebagai jurudamai, sebaliknya menjadi pendorong utama kekerasaan dengan, antara lain, menjanjikan surga di akhirat bagi pemeluk agama yang mau melakukan kekerasan dan bahkan menghabisi hidup manusia lain yang kebetulan berbeda keyakinan.

Adapun Obama meminta agar pemerintahannya, terutama Menteri Luar Negeri Hillary Rodham Clinton tidak melupakan Indonesia sebagai salah satu negara kunci dan negara penting di Asia. Itu pula sebabnya, Hillary Clinton segera mengajukan permohonan visa Indonesia ke KBRI di Washington DC segera setelah dirinya dilantik dan disumpah menjadi Menlu AS menggantikan Condoleezza Rice.

“Eh, jangan lupa, Indonesia juga (harus dikunjungi),” kata Obama kepada Hillary saat dia dan Hillary tengah membahas rencana perjalanan Hillary ke Asia. Cerita mengenai hal ini juga disampaikan Joe Biden dalam pertemuan dengan Jusuf Kalla itu.

Dengan arah baru politik luar negeri Amerika Serikat ini, dapat dipahami bila kemudian Obama memilih tema keberagaman agama dalam sambutannya pada National Prayer Breakfast kali ini.

“Kita mengimani keyakinan yang berbeda. Kita terikat pada keyakinan mengapa kita di sini, dan akan kemana kita pergi. Sebagian dari kita memilih untuk tidak percaya sama sekali. Tetapi, apapun yang kita pilih untuk kita yakini, marilah kita semua mengingat bahwa tidak ada agama yang menjadikan kebencian sebagai inti dari ajarannya,” ujar Obama.

Obama yang lahir dan besar di Hawaii serta pernah menghabisi masa kanak-kanaknya di Indonesia ini berjanji bahwa pemerintahannya tidak akan menjadi alat kekuasaan bagi sekelompk penganut agama tertentu untuk menaklukan penganut agama lain. Juga tidak menjadi alat dari kelompok agama untuk mengalahkan kelompok sekular.

Pada bagian lain dia juga bercerita tentang latar belakang agama keluarga yang membesarkannya.

“Saya tidak dibesarkan di keluarga yang religius. Saya memiliki ayah yang dilahirkan sebagai orang Islam tapi kemudian menjadi atheis, kakek dan nenek yang tidak mempraktikan ajaran Methodist dan Baptist, dan ibu yang ragu terhadap agama yang diorganisir. Namun demikian, dia (ibu saya) adalah orang yang paling religius yang pernah saya tahu. Dia adalah orang yang mengajarkan kepada saya sejak saya kecil bahwa manusia harus mencintai sesama,” cerita Obama.

Dia menambahkan dirinya baru menjadi penganut Kristen setelah pindah ke Chicago, Illinois. Dia memeluk agama Kristen bukan karena indoktrinasi atau tercerahkan secara tiba-tiba. Namun, kata Obama lagi, karena dia selama bertahun-tahun bekerja dengan organisasi gereja untuk membantu orang-orang kurang beruntung di sekitar lingkungannya, terlepas dari warna kulit mereka juga agama dan keyakinan mereka.

“Hal itu terjadi di jalanan, di lingkungan yang kurang beruntung seperti itu, saat pertama kali spirit Tuhan menghampiri saya. Disitulah saya merasakan sesuatu yang saya sebut tujuan yang lebih tinggi, yakni tujuan Tuhan,” demikian Obama.

Keutamaan Mencegah Ghibah, Keutamaan Mencegah Ghibah, Karena Keji dan Jahat



Ghibah adalah menyebutkan sesuatu yang terdapat pada diri seorang muslim, sedang ia tidak suka (jika hal itu disebutkan). Baik dalam keadaan soal jasmaninya, agamanya, kekayaannya, hatinya, ahlaknya, bentuk lahiriyahnya dan sebagainya. Caranya-pun bermacam-macam. Di antaranya dengan membeberkan aib, menirukan tingkah laku atau gerak tertentu dari orang yang dipergunjingkan dengan maksud mengolok-ngolok.

Ghibah Keji Dan Kotor

Banyak orang meremehkan masalah ghibah, padahal dalam pandangan Allah ia adalah sesuatu yang keji dan kotor. Hal itu dijelaskan dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Artinya : Riba itu ada tujuh puluh dua pintu, yang paling ringan daripadanya sama dengan seorang laki-laki yang menyetubuhi ibunya (sendiri), dan riba yang paling berat adalah pergunjingan seorang laki-laki atas kehormatan saudaranya”. (As-Silsilah As-Shahihah, 1871)

Keutamaan Mencegah Gibah

Wajib bagi orang yang hadir dalam majlis yang sedang menggunjing orang lain, untuk mencegah kemungkaran dan membela saudaranya yang dipergunjingkan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam amat menganjurkan hal demikian, sebagaimana dalam sabdanya. “Artinya : Barangsiapa menolak (ghibah atas) kehormatan saudaranya, niscaya pada hari kiamat Allah akan menolak menghindarkan api Neraka dari wajahnya”. (Hadits Riwayat Ahmad, 6/450, hahihul Jami’. 6238)
:

من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيرا أو ليصمت

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Amma ba’du.

Saudaraku sekalian, ghibah atau menggunjing adalah perbuatan yang pada asalnya dilarang oleh Islam. Ghibah adalah perbuatan dosa besar, yang bahkan Allah menyamakan orang yang melakukan ghibah dengan orang yang memakan bangkai saudaranya, Allah ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلا تَجَسَّسُوا وَلا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah sebagian kalian menggunjingkan (ghibah) sebagian yang lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujuuraat: 12)

Meskipun demikian ada sebagian ghibah yang diperbolehkan atau bahkan disyariatkan. Karena dengan cara itulah pemahaman agama ini akan selamat dari penyimpangan dan kesesatan. Dalam kesempatan ini kita akan sedikit mengkaji persoalan ini, agar kita bisa membedakan mana nasihat dan mana ghibah yang terlarang.

Pengertian Ghibah

Pengertian ghibah dapat diketahui dengan memperhatikan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya. Beliau membawakan sebuah riwayat: Yahya bin Ayyub menceritakan kepada kami, demikian pula Qutaibah dan Ibnu Hajar. Mereka mengatakan: Isma’il bin Al-’Allaa’ menceritakan hadits kepada kami dari jalan ayahnya dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wa sallam bersabda:

أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ قَالَ إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ

“Tahukah kalian apa itu ghibah?”, Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Beliau bersabda, “Yaitu engkau menceritakan tentang saudaramu yang membuatnya tidak suka.” Lalu ditanyakan kepada beliau, “Lalu bagaimana apabila pada diri saudara saya itu kenyataannya sebagaimana yang saya ungkapkan?” Maka beliau bersabda, “Apabila cerita yang engkau katakan itu sesuai dengan kenyataan maka engkau telah meng-ghibahinya. Dan apabila ternyata tidak sesuai dengan kenyataan dirinya maka engkau telah berdusta atas namanya (berbuat buhtan).” (HR. Muslim. 4/2001. Dinukil dari Nashihatii lin Nisaa’, hal. 26)

Keharaman Ghibah

Ummu Abdillah Al-Wadi’iyah berkata: Ghibah itu diharamkan, sedikit maupun banyak. Di dalam Sunan Abu Dawud tercantum sebuah hadits yang diriwayatkan dari jalan ‘Aisyah. Beliau berkata:

حَسْبُكَ مِنْ صَفِيَّةَ كَذَا وَكَذَا قَالَ غَيْرُ مُسَدَّدٍ تَعْنِي قَصِيرَةً فَقَالَ لَقَدْ قُلْتِ كَلِمَةً لَوْ مُزِجَتْ بِمَاءِ الْبَحْرِ لَمَزَجَتْهُ

“Wahai Rasulullah, cukuplah menjadi bukti bagimu kalau ternyata Shafiyah itu memiliki sifat demikian dan demikian.” Salah seorang periwayat hadits menjelaskan maksud ucapan ‘Aisyah bahwa Shafiyah itu orangnya pendek. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh engkau telah mengucapkan sebuah kalimat yang seandainya dicelupkan ke dalam lautan maka niscaya akan merubahnya.”

Di dalam dua Kitab Shahih (Bukhari dan Muslim) juga terdapat riwayat hadits dari jalan Abu Bakrah yang menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا

“Sesungguhnya darah-darah kalian, harta-harta kalian, (dan juga kehormatan kalian) semua itu adalah haram atas kalian sebagaimana kesucian hari kalian ini (hari ‘Arafah), pada bulan kalian ini dan di negeri kalian yang suci ini.”

Di dalam Sunan Tirmidzi terdapat riwayat yang menceritakan hadits dari jalan Ibnu ‘Umar, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam naik mimbar dan menyeru dengan suara yang lantang: “Wahai segenap manusia yang masih beriman dengan lisannya namun iman itu belum meresap ke dalam hatinya janganlah kalian menyakiti kaum muslimin. Dan janganlah melecehkan mereka. Dan janganlah mencari-cari kesalahan-kesalahan mereka. Karena sesungguhnya barang siapa yang sengaja mencari-cari kejelekan saudaranya sesama muslim maka Allah akan mengorek-ngorek kesalahan-kesalahannya. Dan barang siapa yang dikorek-korek kesalahannya oleh Allah maka pasti dihinakan, meskipun dia berada di dalam bilik rumahnya.” (Hadits ini tercantum dalam Shahihul Musnad, 1/508)

Di dalam Sunan Abu Dawud juga terdapat riwayat dari Anas bin Malik, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ketika aku dimi’rajkan aku melewati suatu kaum yang memiliki kuku-kuku dari tembaga. Dengan kuku-kuku itu mereka mencakar-cakar wajah dan dada-dada mereka sendiri. Maka aku berkata: ‘Siapakah mereka itu wahai Jibril?’ Jibril menjawab, ‘Mereka itu adalah orang-orang yang berani memakan daging-daging manusia serta menjatuhkan kehormatan dan harga diri orang lain’.” (Hadits ini Shahih) (Nashihati lin Nisaa’, hal. 26-27)

Ghibah yang Dibolehkan

Ummu Abdillah Al-Wadi’iyah berkata: Al-Hafizh Ibnu Katsir mengatakan di dalam kitab Tafsir beliau, “Ghibah itu haram berdasarkan kesepakatan (kaum muslimin). Dan tidak dikecualikan darinya satu bentuk ghibah pun kecuali apabila terdapat maslahat yang lebih dominan sebagaimana dalam konteks jarh dan ta’dil (celaan dan pujian yang ditujukan kepada periwayat hadits dan semacamnya -pent) serta demi memberikan nasihat. Hal ini sebagaimana disabdakan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ada seorang lelaki bejat yang meminta izin untuk bertemu dengan beliau. Beliau bersabda, “Ijinkan dia masuk. Dia adalah sejelek-jelek kerabat bagi saudara-saudaranya.”

Dan juga sebagaimana perkataan beliau kepada Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha ketika Mu’awiyah dan Abu Jahm melamar dirinya. Rasul bersabda, “Adapun Mu’awiyah, maka dia seorang yang tidak mempunyai harta. Sedangkan Abu Jahm adalah orang yang tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya.” Dan demikianlah dibolehkan pula (ghibah) untuk kepentingan yang serupa dengan itu. Kemudian selain untuk keperluan semacam itu maka hukumnya adalah sangat diharamkan.” (Nashihati lin Nisaa’, hal. 27-28)

Imam Nawawi menjelaskan bahwa ghibah dibolehkan karena adanya tujuan yang dibenarkan oleh syariat yang tidak mungkin tujuan itu tercapai kecuali dengan menempuh cara ini.

Ghibah yang dibolehkan ini ada enam sebab:

  1. Mengadukan kezaliman orang kepada hakim, raja atau siapa saja yang mempunyai wewenang dan kemampuan untuk menolongnya. Seperti dengan mengatakan: “Si Fulan menganiaya saya dengan cara demikian.”
  2. Meminta bantuan orang demi mengubah kemungkaran dan mengembalikan pelaku maksiat agar kembali kepada kebenaran. Seperti dengan mengatakan: “Si Fulan telah melakukan demikian maka cegahlah dia dari perbuatan itu!” atau ungkapan semisalnya. Tujuan dibalik pengaduan itu adalah demi menghilangkan kemungkaran, kalau dia tidak bermaksud demikian maka hukumnya tetap haram.
  3. Meminta fatwa. Seperti dengan mengatakan kepada seorang mufti (ahli fatwa): “Ayahku menganiayaku.” atau “Saudaraku telah menzalimiku.” Atau “Suamiku telah menzalimiku.” Meskipun tindakan yang lebih baik dan berhati-hati ialah dengan mengatakan: “Bagaimana pendapat anda terhadap orang yang melakukan perbuatan demikian dan demikian (tanpa menyebut namanya)?”
  4. Memperingatkan kaum muslimin dari kejelekan sebagian orang dan dalam rangka menasihati mereka. Seperti mencela para periwayat hadits dan saksi, hal ini diperbolehkan berdasarkan kesepakatan kaum muslimin, bahkan hukumnya wajib karena kebutuhan umat terhadapnya.
  5. Menyebutkan kejelekan pelaku maksiat yang berterang-terangan dalam melakukan dosa atau bid’ahnya, seperti orang yang meminum khamr di depan khalayak, merampas harta secara paksa dan sebagainya, dengan syarat kejelekan yang disebutkan adalah yang terkait dengan kemaksiatannya tersebut dan bukan yang lainnya.
  6. Untuk memperkenalkan jati diri orang. Seperti contohnya apabila ada orang yang lebih populer dengan julukan Al-A’raj (yang pincang), Al-Ashamm (yang tuli), Al-A’ma (yang buta) dan lain sebagainya. Akan tetapi hal ini diharamkan apabila diucapkan dalam konteks penghinaan atau melecehkan. Seandainya ada ungkapan lain yang bisa dipakai untuk memperkenalkannya maka itulah yang lebih utama (lihat Riyadhush Shalihin, dicetak bersama Syarah Syaikh Utsaimin, 4/98-99. penerbit Darul Bashirah)

Dalil-dalil diperbolehkannya ghibah semacam itu

Imam Nawawi menyebutkan dalil-dalil yang mendasari pengecualian ini, yaitu:

1. Dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha, beliau menceritakan bahwa ada seorang lelaki yang meminta izin bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau bersabda:

ائْذَنُوا لَهُ بِئْسَ أَخُو الْعَشِيرَةِ أَوْ ابْنُ الْعَشِيرَةِ

“Ijinkanlah dia, sejelek-jelek kerabat bagi saudaranya.” (Muttafaq ‘alaih)

Imam Nawawi berkata: Al-Bukhari berhujjah dengan hadits ini untuk menyatakan bolehnya mengghibahi para penebar kerusakan dan keragu-raguan aqidah.

2. Dari ‘Aisyah pula, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا أَظُنُّ فُلَانًا وَفُلَانًا يَعْرِفَانِ مِنْ دِينِنَا شَيْئًا قَالَ اللَّيْثُ كَانَا رَجُلَيْنِ مِنْ الْمُنَافِقِين

“Aku kira si Fulan dan si Fulan tidak mengerti tentang agama kita barang sedikitpun.” (HR. Bukhari) Laits bin Sa’ad salah seorang perawi hadits ini berkata: “Kedua orang ini termasuk kalangan orang munafiq.”

3. Dari Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha, beliau berkata: Aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian aku katakan:

إَنَّ أَبَا جَهْمٍ و مُعَاوِيَةَ خَطَبَانِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لَا مَالَ لَهُ أَبُو جَهْمٍ فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ (متفق عليه). وفى رواية لمسلم: “وَأَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَرَجُلٌ ضَرَّابٌ لِلنِّسَاءِ” وهو تفسير لرواية: ” فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ”. وقيل معناه كثير الأسفار

“Sesungguhnya Abul Jahm dan Mu’awiyah telah melamarku maka bagaimana?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Adapun Mu’awiyah, dia itu miskin tidak berharta. Sedangkan Abul Jahm adalah orang yang tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya.” (Muttafaq ‘alaih). Dalam riwayat Muslim diriwayatkan, “Adapun Abul Jahm adalah lelaki yang sering memukuli isteri.” Ini merupakan penafsiran dari ungkapan, “tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya.” Dan ada pula yang mengatakan bahwa maksud ungkapan itu adalah: orang yang banyak bepergian.

4. Dari Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:

خرجنا مع رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم في سفر أصاب الناس فيه شدة فقال عبد اللَّه بن أبي: لا تنفقوا على من عند رَسُول اللَّهِ حتى ينفضوا، وقال: لئن رجعنا إلى المدينة ليخرجن الأعز منها الأذل، فأتيت رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم فأخبرته بذلك، فأرسل إلى عبد اللَّه بن أبي فاجتهد يمينه ما فعل، فقالوا: كذب زيد رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم، فوقع في نفسي مما قالوه شدة حتى أنزل اللَّه تعالى تصديقي (إذا جاءك المنافقون) المنافقين 1 (ثم دعاهم النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم ليستغفر لهم فلووا رؤوسهم (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)

Kami pernah berangkat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menempuh suatu perjalanan. Pada saat itu orang-orang mengalami kondisi yang menyulitkan, maka Abdullah bin Ubay berkata: “Janganlah kalian berinfak membantu orang-orang yang ada di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai mereka mau bubar.” Dia juga mengatakan, “Seandainya kita pulang ke Madinah, maka orang-orang yang kuat akan mengusir yang lemah.” Maka aku pun menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kukabarkan hal itu kepada beliau. Kemudian beliau pun mengutus orang untuk menanyakan hal itu kepada Abdullah bin Ubay. Maka dia justru berani bersumpah dengan serius kalau dia tidak pernah mengatakannya, maka mereka pun mengatakan, “Zaid telah berdusta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Maka ucapan mereka itu membuatku diriku susah dan tersakiti sampai akhirnya Allah menurunkan firman-Nya untuk membuktikan kejujuranku, “Apabila orang-orang munafiq datang kepadamu.” (QS. Al-Munafiquun: 1) Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil mereka supaya meminta beliau berdoa memintakan ampun bagi mereka akan tetapi mereka justru memalingkan kepala-kepala mereka. (Muttaafaq ‘alaih)

5. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata:

قالت هند امرأة أبي سفيان للنبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم : إن أبا سفيان رجل شحيح وليس يعطيني ما يكفيني وولدي إلا ما أخذت منه وهو لا يعلم، قال خذي ما يكفيك وولدك بالمعروف (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)

Hindun isteri Abu Sufyan mengadu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Abu Sufyan adalah lelaki yang pelit, dia tidak memberikanku sesuatu yang bisa mencukupi kebutuhanku dan anak-anakku kecuali yang sengaja kuambil sendiri darinya dalam keadaan dia tidak tahu, lantas bagaimana?.” Beliau bersabda, “Ambilah sebanyak yang bisa mencukupimu dan anak-anakmu.” (Muttafaqun ‘alaihi) (lihat Riyadhush Shalihin, dicetak bersama Syarah Syaikh Utsaimin, 4/100 dan 104)

Praktek Ulama Salaf

Imam Ibnu Katsir mengatakan, “Berbicara tentang cela orang-orang (semacam para periwayat hadits) dalam rangka nasihat untuk membela agama Allah, Rasul dan Kitab-Nya serta untuk menasihati kaum mukminin bukanlah termasuk ghibah, bahkan pelakunya akan mendapat pahala apabila dia memiliki maksud yang tulus seperti itu.” (Al-Baa’itsul Hatsiits, hal. 228)

Pada suatu kesempatan ditanyakan kepada Yahya bin Sa’id Al-Qaththaan: “Apakah engkau tidak merasa khawatir kalau orang yang engkau tinggalkan haditsnya (dinyatakan sebagai rawi yang matruk) menjadi musuhmu pada hari kiamat kelak?” Maka beliau menjawab: “Lebih baik bagiku orang-orang itu menjadi musuhku daripada aku harus bermusuhan dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat itu sehingga beliau akan berkata kepadaku: “Mengapa kamu tidak melawan orang-orang yang berdusta atas namaku?” (Al-Baa’itsul Hatsiits, hal. 228)

Dikisahkan oleh Abu Turab An-Nakhasyabi bahwa suatu saat dia mendengar Imam Ahmad bin Hambal sedang membicarakan kritikan atas sebagian periwayat hadits. Maka dia berkata kepada beliau: “Apakah anda hendak menggunjing para ulama?!” Maka Imam Ahmad menjawab: “Celaka kamu! Ini adalah nasihat, bukan menggunjing.” (Al-Baa’itsul Hatsiits, hal. 228)

PERBEDAAN ANTARA NASEHAT DAN GHIBAH

Syaikh Husein Al-Awaisyah dalam sebuah bukunya menuliskan sebuah bab yang artinya, “Perkara-perkara yang disangka bukan ghibah, tetapi sebenarnya termasuk ghibah”, di antaranya beliau menyebutkan dalam point yang kedelapan:

“Dan barangkali Allah memberi keutamaan kepada seseorang dalam hal amar ma’ruf nahi munkar, di mana tidak sembarang orang dapat menasehati orang lain lebih-lebih kalau orang yang dinasehati tersebut sulit untuk menerima nasehat, kemudian orang tersebut menerima nasehatnya dengan jujur dan ikhlas, dan nampak dari dia keinginan yang kuat untuk beertaubat, akan tetapi si penasehat tersebut nampaknya lemah dalam menghadapi syetan, tiba-tiba ia menceritakan aib orang tersebut di hadapan manusia, “Si fulan melakukan ini dan itu, si fulan berbuat demikian, kemudian saya menasehatinya.”

Faktor apalagi kalau bukan mengikuti hawa nafsu dan cinta berbuat ghibah yang mendorong orang tersebut menyampaikan cerita tadi di hadapan manusia?!

Bukankah tujuan amar ma’ruf nahi munkar agar yang ma’ruf tersebar di antara manusia, dan yang mungkar menjadi mati tak berkutik ?!

Kalau begitu mengapa disertai dengan pembicaraan dan komentar, padahal tujuan telah tercapai?!

Ataukah sudah berbalik, sehingga orang yang mengajak kepada yang ma’ruf telah diperintah oleh syetan, dan orang yang melarang kemungkaran, ia sendiri terjerumus kedalam kemungkaran.”8)

Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah berkata,”Dan perbedaan antara nasehat dan ghibah adalah bahwa nasehat itu bermaksud dalam rangka memberi peringatan kepada seorang muslim dari bahayanya ahli bid’ah, penyebar fitnah, penipu, atau perusak…”

Sampai beliau berkata,

“Maka apabila menceritakan kejelekan orang lain dalam rangka nasehat yang diwajibkan oleh Allah dan RasulNya kepada hamba-hambanya kaum muslimin maka hal yang demikian adalah taqarub kepada Allah, termasuk amal kebaikan , tetapi apabila menceritakan kejelekan orang lain bermaksud mencela saudaramu dan menodai kehormatan dan memakan dagingnya agar engkau menyia-nyiakan kedudukan dia di hati-hati manusia maka maksiat tersebut merupakan penyakit yang kronis dan api yang melalap kebaikan sebagaimana api yang membakar kayu bakar.”9)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :

“Menyebutkan kejelekan manusia dengan apa-apa yang tidak disukai oleh mereka pada asalnya ada dua macam:

Pertama: Menyebutkan perbuatannya.

Kedua: Menyebutkan orangnya yang tertentu, baik ia masih hidup ataupun telah meninggal dunia.

Yang pertama, setiap macam perbuatan yang dicela oleh Allah dan RasulNya, maka seorang muslim wajib mencelanya pula, dan hal yang demikian bukanlah termasuk perbuatan ghibah, sebagaimana setiap macam
perbuatan yang dipuji oleh Allah dan RasulNya, maka wajib ia memujinya pula …”10)

Sampai beliau berkata,

“Apabila tujuannya adalah mengajak kepada kebaikan dan menganjurkannya, serta melarang keburukan dan memperingatkan darinya, maka harus menyebutkan keburukan perbuatan tersebut. Oleh karena itu, Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Apabila mendengar seseorang melakukan pelanggaran, beliau shalallahul ‘alaihi wasallam bersabda,

“Mengapakah orang-orang memberikan syarat-syarat yang tidak ada pada kitab Allah ? Barangsiapa memberikan syarat yang tidak ada pada kitab Allah, maka dia itu batil, meskipun seratus syarat.”11)

“Mengapakah orang-orang meninggalkan hal-hal yang aku perbolehkan? Demi Allah, sesungguhnya aku orang yang paling bertaqwa kepada Allah dan yang paling tahu akan batasan-batasannya di antara kalian.”12)

“Mengapakah orang-orang ada satu di antaranya mengatakan, “Adapun saya akan selalu berpuasa tidak akan berbuka,” dan ada lainnya mengatakan, “Adapun saya akan selalu bangun malam tidak akan tidur,” dan orang lainnya berkata, “Saya tidak akan menikahi wanita,” dan yang lainnya mengatakan, “Saya tidak akan makan daging.” Tetapi saya sendiri berpuasa dan berbuka, bangun malam dan tidur, menikahi wanita, makan daging, maka barangsiapa yang benci terhadap sunnahku, maka bukanlah ia termasuk golonganku.”13)

Sampai beliau berkata,

“(Yang kedua), sedangkan menyebutkan keburukan orang lain, sekaligus menyebutkan orangnya dapat dilakukan dalam beberapa kejadian tertentu.

Di antaranya orang yang dizalimi, maka ia berhak menyebutkan orang yang menzaliminya, baik dalam rangka menolak kezalimannya ataupun untuk mendapatkan haknya, sebagaimana Hindun berkata, “Wahai Rasulullah!
Sesungguhnya Abu Sufyan seorang yang pelit, ia tidak memberikan kecukupan nafkah kepadaku dan anakku, (kecuali saya mengambil harta darinya tanpa sepengetahuan dia, maka baru mencukupi kami),” maka beliau menjawab, “Ambillah apa-apa yang mencukupimu dan anakmu secukupnya.”14) (Muttafaq alaih).

Sampai beliau berkata,

“Dan di antaranya dalam rangka memberi nasehat kepada kaum Muslimin dalam urusan dien dan dunia mereka sebagaimana dalam Hadits yang shahih dari Fatimah binti Qais ketika dia bermusyawarah dengan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam tentang siapa yang akan dinikahinya ia berkata, “Abu Jahm dan Muawiyah telah meminang saya.” Maka beliau memberikan nasehat,
“Adapun Muawiyah dia orang yang faqir tidak memiliki harta, sedangkan Abu Jahm ia seorang yang suka memukuli wanita” dan diriwayatkan “ia tidak pernah meletakkan tongkat dari bahunya”, maka beliau menjelaskan kepadanya bahwa yang satu fakir, mungkin tidak mampu memenuhi hakmu, dan yang satu lagi menyakitimu dengan pukulan. Dan yang seperti ini adalah nasehat kepadanya – meskipun mencakup penyebutan aib si peminang .Dan termasuk juga di dalamnya, nasehat kepada seseorang mengenai orang yang akan diajak kerjasama, yang akan ia beri wasiat kepadanya, dan yang akan menjadi saksi bagi dia, bahkan orang yang akan menjadi penengah urusan dia, dan yang semisalnya.

Apabila hal ini berkenaan dengan maslahat khusus, maka bagaimana dengan nasehat yang berhubungan dengan hak-hak kaum muslimin pada umumnya, berupa para penguasa, para saksi, para karyawan, pegawai dan selain dari mereka ? maka tidak ragu lagi bahwa nasehat dalam hal tersebut lebih agung lagi, sebagaimana Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda
:

“Dien itu nasehat, dien itu nasehat.” Mereka berkata,
“Kepada siapa wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Kepada Allah, kepada Kitab-Nya, kepada Rasul-Nya, dan kepada para penguasa kaum muslimin serta kepada kaum muslimin pada umumnya.”15)

Dan mereka berkata kepada Umar Ibnu Khaththab mengenai ahli syura, “Jadikanlah si fulan dan si fulan sebagai amir,” lalu Umar menyebutkan kekurangan mereka berenam
satu persatu, padahal mereka seutama-utama umat, beliau menjadikan kekurangan yang ada pada mereka sebagai penghalang bagi dia untuk memilih mereka.

Apabila demikian, maka nasehat yang berkenaan dengan
maslahat-maslahat dien, baik khusus maupun umum hukumnya wajib, seperti perawi hadits yang salah atau yang berdusta sebagaimana Yahya bin Said berkata,
“Saya bertanya kepada Malik dan Ats-Tsaury dan Al-Laits bin Sa’ad, saya kira dia, dan Al-Auzai mengenai seseorang yang tertuduh dalam hadits atau
tidak hafal. Mereka semuanya berkata, ‘Jelaskan keadaannya’.” Dan sebagian orang berkata kepada Imam
Ahmad bin Hambal, “Sesungguhnya berat bagi saya untuk mengatakan si fulan begini dan si fulan begitu.” Maka beliau berkata, “Apabila engkau diam dan saya diam, maka kapan orang yang jahil mengetahui dan dapat membedakan yang shahih dan bercacat?!”

Begitu pula misalnya, dalam rangka menjelaskan para imam ahli bid’ah, baik tokoh mereka dalam hal aqidah ataupun tokoh mereka dalam hal ibadah yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As Sunnah, maka penjelasan keadaan mereka dan peringatan umat dari bahaya mereka hukumnya wajib berdasarkan kesepakatan kaum muslimin sampai-sampai dikatakan kepada Ahmad bin Hambal, “Mana yang lebih engkau cintai, seseorang yang puasa dan shalat serta ber’itikaf ataukah orang yang membantah ahli bid’ah?” Maka beliau menjawab, “Apabila dia shalat, puasa dan i’tikaf maka hanya untuk dirinya sendiri, dan apabila ia membantah ahli bid,ah maka hal itu untuk kepentingan kaum muslimin dan ini yang lebih utama.” Maka ia menjelaskan bahwa manfaat hal ini untuk kepentingan kaum muslimin pada umumnya dalam dien mereka. Maka membantah ahli bid’ah termasuk jihad
di jalan Allah, di mana memurnikan dien Allah, jalan, manhaj, dan syari’atNya serta menolak kejahatan dan permusuhan mereka merupakan wajib kifayah berdasarkan kesepakatan kaum muslimin, kalau tidak ada orang yang Allah tampilkan untuk menolak bahaya mereka tentu dien ini akan rusak, dan rusaknya itu lebih parah dari sekedar musuh yang menjajah kaum muslimin, karena apabila mereka menguasai, mereka hanya

menguasai fisik pada mulanya dan belum menguasai hati dan dien meskipun nantinya mereka pun berusaha menjajahnya pula, sedangkan ahli bid’ah mereka sejak awal sudah merusak hati-hati manusia.

Dan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda, “Sesunggguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk rupa kalian dan harta kalian tetapi Ia melihat kepada hati-hati kalian dan amal-amal kalian”16)

Dan Allah berfirman dalam kitabNya : “Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-Rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuataan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan Rasul-RasulNya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (Surat Al-Hadid 25)

Maka Allah memberitahukan bahwa Dia telah menurunkan Al-Kitab dan neraca (keadilan) agar manusia melaksanakan keadilan, dan Dia telah menurunkan besi, sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas. Maka tonggak bagi dien itu adalah Al-Kitab yang memberi petunjuk dan pedang yang memberi pertolongan. “Dan cukuplah Rabbmu menjadi Pemberi petunjuk dan Penolong.” (Surat Al-Furqan 31)

Dan Al-Kitab dialah sebagai pokok, oleh karena itu pertama kali Allah mengutus RasulNya, Ia menurunkan kepada beliau Al-Kitab, selama beliau tinggal di Makkah,Allah belum memerintahkan beliau mengangkat pedang sampai beliau hijrah dan mempunyai pendukung-pendukung yang siap untuk berjihad.

Dan musuh-musuh dien itu ada dua macam: Orang-orang kafir dan orang-orang munafik. Dan Allah telah memerintahkan NabiNya untuk berjihad melawan dua kelompok tersebut sebagaimana dalam firmanNya,

“Berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah kepada mereka.” (Surat At-Taubah 73)

Apabila orang-orang munafik berbuat bid’ah yang bertentangan dengan Al-Kitab,dan menipu manusia, lalu tidak dijelaskan kebid’ahan ini kepada manusia, maka rusaklah Al-Kitab, dan berubahlah dien ini, sebagaimana dien ahli kitab sebelum kita telah rusak pula disebabkan terjadinya perubahan dalam dien tersebut, sedangkan pelakunya tidak diingkari.

Dan apabila mereka itu bukan orang-orang munafik, akan tetapi mereka itu pendengar setia terhadap ucapan orang-orang munafik, tanpa mereka sadar bahwa bid’ah-bid’ah orang-orang munafik tersebut telah meracuni mereka sehingga mereka menyangka bahwa ucapan-ahli bid’ah tersebut benar, padahal sesungguhnya menyalahi Al-Kitab maka jadilah mereka itu juru da’wah yang mengajak kepada bid’ah-bid’ah orang munafik dan menjadi corong mereka. Sebagaimana Allah Subhana wa Ta’ala berfirman,

“Jika mereka berangkat bersama-sama kalian niscaya mereka tidak menambah kalian, kecuali kerusakan belaka, dan tentu mereka akan bergegas maju ke muka dicelah-celah barisanmu, untuk mengadakan kekacauan di
antaramu, sedang di antara kalian ada orang-orang yang amat suka mendengarkan perkataan mereka.” (Surat At
Taubah 47)

Maka menjelaskan keadaan mereka harus dilakukan juga, bahkan fitnah dari apa yang mereka lakukan itu lebih besar, karena pada diri mereka ada keimanan yang mewajibkan kita untuk loyal kepada mereka, dan mereka telah terperosok kepada bid’ah-bid’ahnya orang-orang munafik yang merusak dien ini, maka harus adanya peringatan dari bid’ah-bid’ah tersebut, meskipun harus dengan meyebutkan mereka dan menunjukkan orang-orangnya, bahkan meskipun bid’ah yang mereka sebarkan bukan didapat dari orang-orang munafik, tetapi mereka mengucapkannya dengan persangkaan bahwasanya bid’ah tersebut adalah petunjuk dan kebaikan serta dari ajaran dien, padahal sesungguhnya bukan demikian, maka wajib pula menjelaskan keadaan mereka.

Oleh karena itu, wajib hukumnya menjelaskan keadaan orang yang salah dalam hadits dan riwayat, dan orang yang salah dalam pendapat dan fatwa, dan orang yang salah dalam hal zuhud dan ibadah, meskipun orang yang salah itu seorang mujtahid 17) yang telah diampuni kesalahannya, bahkan mendapat pahala atas ijtihadnya yang salah tersebut, maka penjelasan perkataan dan perbuatan yang sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah hukumnya adalah wajib, meskipun harus bertentangan dengan ucapan dan perbuatannya seorang mujtahid.

Apabila diketahui bahwa kesalahan mujtahid tersebut berupa ijtihad yang memenuhi kriteria dan persyaratan sebagai ijtihad, yaitu berdasarkan kaidah-kaidah syariah yang benar maka tidak boleh mencela dalam menyebutkan kesalahannya dan tidak boleh mengatakannya sebagai perbuatan dosa, karena sesungguhnya Allah telah mengampuni kesalahannya, bahkan wajib loyal dan cinta kepadanya dikarenakan padanya terdapat iman dan taqwa, dan wajib menunaikan hak-haknya, berupa pujian dan doa serta yang lainnya.

Dan apabila diketahui darinya bahwa ia itu sebagai orang-orang munafik sebagaimana diketahui di masa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam seperti Abdullah bin Ubai dan konco-konconya, sebagaimana kaum muslimin mengetahui akan kemunafikan orang-orang Syiah Rafidhah, seperti Abdullah bin Saba dan yang sebangsanya, seperti Abdul Qudus Ibnul Hajjaj, dan Muhammad bin Sa`id Al-Mashlub, maka tipe seperti ini disebutkan pula kemunafikannya.

Dan apabila seseorang menyebarkan kebid`ahan dan belum diketahui apakah dia itu termasuk orang munafik atau seorang mu’min yang berbuat kesalahan disebutkan sesuai dengan apa-apa yang diketahui darinya, maka tidaklah halal bagi seseorang untuk berbicara tanpa ilmu, dan tidak halal baginya untuk berbicara dalam bab ini, kecuali dengan ikhlas semata-mata mencari ridha Allah Subhana wa Ta’ala, dan agar kalimat Allah menjulang tinggi dan agar dien itu semuanya milik Allah.

Maka barangsiapa yang berbicara dalam hal yang demikian tanpa ilmu atau terbukti bertentangan dengan fakta, maka ia berdosa.

Dan begitu pula halnya seorang hakim, saksi, dan mufti, sebagaimana Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Macam-macam hakim itu ada tiga: dua di antaranya di
neraka dan satu di surga. Seorang yang mengetahui kebenaran dan memutuskan perkara berdasarkan kebenaran, maka ia di surga, dan seorang yang yang memutuskan perkara kepada manusia atas kebodohan, maka dia di neraka, dan seorang mengetahui kebenaran, maka dia memutuskan perkara dengan menyalahi kebenaran yang ia ketahui, maka dia di Neraka.” 18)

Dan Allah Subhana wa Ta’ala berfirman,

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah orang-orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu, jika ia kaya atau miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kalian mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kalian memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa
yang kalian kerjakan.” (Surat An-Nisaa 135)

sebagaimana terdapat dalam Shahihain (Shahih Bukhari dan Shahih Muslim) dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bahwasanya beliau bersabda:

“Penjual dan pembeli itu sebelum keduanya berpisah diperbolehkan untuk memilih (apakah melangsungkan jual belinya atau membatalkannya), apabila keduanya jujur dan menjelaskan (keadaan yang sebenarnya) maka
keduanya mendapatkan barakah dalam jual belinya, tetapi apabila keduanya dusta dan menyembunyikan (keadaan yang sebenarnya), maka barakah jual beli keduanya terhapus.”

Kemudian orang yang berbicara dengan ilmu dalam hal tersebut harus mempunyai niat yang baik, maka apabila ia berbicara dengan benar akan tetapi bermaksud berbuat kesombongan di muka bumi atau kerusakan maka kedudukannya seperti orang yang berperang dengan jahiliyah dan berbuat riya. Adapun jika dia berbicara dengan ikhlas karena Allah Ta’ala semata, maka ia termasuk mujahidin di jalan Allah, termasuk pewaris para nabi, penerus para Rasul. Dan hal ini sama sekali tidak menyalahi sabda beliau, “Ghibah itu menyebutkan kejelekan saudaramu yang membuat ia tidak suka (apabila mendengarnya),” karena “Al-Akh” tersebut sebagai mu’min, dan “Al-Akh” yang mu’min apabila ia benar imannya tidak akan benci atas apa yang telah engkau katakan berupa kebenaran, di mana Allah dan RasulNya mencintai kebenaran tersebut, meskipun dalam pelaksanaan kebenaran tersebut merugikan dirinya atau
teman-temannya, tetap harus berbuat adil, dan menjadi saksi karena Allah, meskipun terhadap diri sendiri,
atau kedua orang tua, atau karib kerabatnya, apabila
ia benci kepada kebenaran, maka imannya berkurang,
kalau begitu akan berkurang persaudaraan dia sebanding
dengan berkurangnya keimanan dia.” (Wallahul
Musta’an.)19)

beberapa dalil masyhur dari hadis-hadis sahih. Dari ‘Aisyah radhiyallãhu ‘anha, bahwa seseorang meminta izinnya untuk menemui Nabi shallallãhu ‘alaihi wa sallam, maka beliau berkata, “Izinkanlah dia masuk, dia sejahat-jahat orang di tengah kaumnya,” (Muttafaq ‘Alaih). Dari Fathimah binti Qais r.ah., ia berkata, “Saya mendatangi Nabi saw. dan berkata, ‘Sesungguhnya Abul Jahm dan Mu’awiyah, keduanya telah meminangku?’ Rasulullãh saw. menjawab, ‘Adapun Mu’awiyah dia seorang faqir tidak memiliki harta, sedangkan Abul Jahm, tongkatnya tidak pernah lepas dari bahunya [sering memukul wanita atau sering bepergian]‘,” (HR Muslim & Riyadhus Shalihin).

Intinya, gibah dibolehkan selama dalam situasi tertentu, terpaksa, sebagai upaya memberikan nasihat nyata. Namun, tetap harus mengutamakan maslahatnya sebagai amar makruf wa nahi munkar, agar yang makruf tersebar dan yang mungkar musnah dari masyarakat. Tidak berlebihan sampai mengungkapkan aib yang kecil-kecil. Ketika menyebutkan kejelekan seseorang pun, kita harus berpedoman kepada perbuatan yang dicela Allãh dan Rasul-Nya, hal yang demikian tidak termasuk gibah, seperti perbuatan yang dipuji Allãh dan Rasul-Nya, kita juga wajib memujinya.
Sebab, nasihat itu bermaksud memperingatkan setiap Muslim dari bahaya ahli bidah, penyebar fitnah, penipu, atau perusak akhlak, itu termasuk taqarub kepada Allãh dan amal kebaikan.

sumber:

Dosa-Dosa yang dianggap biasa oleh Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid http://www.mediamuslim.info

Makam Keramat Dan Mengkultuskan Makam Tokoh Menurut Islam


Makam keramat dan pengkultusan berlebihan terhadap makam seorang tokoh masyarakat kembali mengemuka ketika kasus bentrok berdarah muncul di arena makam mbah Priok. Makam mbah priok ternyata selama ini dikeramatkan oleh berbagai pihak. Berbagai bentuk upaya itu sebenarnya adalah sesuatu yang sangat diteladani bila hal itu adalah untuk melestarikan cagar budaya dan hal positif lainnya.

Pengkultusan terhadap kuburan nenek moyang dan orang yang dihormati dan yang di anggap sholih. Sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu ketika menafsirkan firman Allah azza wa jalla (yang artinya): “Dan mereka berkata: Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwwa’, Yoghuts, Ya’uq dan Nasr.” [QS.Nuh/71:23]

Ini adalah nama orang-orang sholih dari kaum nabi Nuh ‘alaihis salam. Tatkala mereka meninggal, setan mewahyukan kepada kaum mereka untuk membuat patung di tempat-tempat duduk mereka. Lalu mereka menamai patung-patung tersebut sesuai dengan nama-nama mereka. Pada awalnya patung-patung itu masih belum disembah, sampai ketika mereka (orang-orang yang membuatnya) meninggal dan disertai dengan terhapusnya ilmu, lalu kaum yang datang kemudian menyembahnya.”

Berbagai hal yang membawa kaum yang kita sebutkan di atas kepada pengkultusan kuburan:

  • Meninggikan kuburan lebih dari satu jengkal
  • Sebagian kaum muslimin meninggikan kubur melebihi dair hal yang dibolehkan agama. Hal ini mungkin disebabkan karena mereka belum memahami tuntunan agama atau karena ada unsur lain seperti ingin menunjukkan bahwa orang tersebut seorang yang mulia.
  • “Dari Abu Hayyaaj al-Asady, ia berkata: Berkata kepadaku Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu: Maukah engkau aku utus untuk melakukan sesuatu yang aku juga diutus oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk melakukannya? Jangan engkau tinggalkan sebuah patung melainkan engkau hancurkan. Dan tidak pula kuburan yang ditinggikan kecuali engkau datarkan.” [HR.Muslim]
  • “Dari Tsumamah bin Syufai, ia berkata: Aku pernah bersama Fudholah bin Ubaid di negeri Romawi ‘Barudis’. Lalu meninggal salah seorang teman kami. Maka Fudholah menyuruh untuk mendatarkan kuburannya. Kemudian ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh untuk mendatarkannya.” [HR.Muslim]

  • Menembok dan mencat kuburan
  • Di antara kebiasan buruk yang bisa membawa kepada sikap pengkultusan kuburan adalah menembok dan mencat kuburan. Di samping hal tersebut diharamkan dalam agama, termasuk pula membuang harta kepada sesuatu yang tidak ada manfaatnya. Dan yang lebih ditakutkan adalah akan terfitnahnya orang awam dengan kuburan tersebut. Sehingga mereka menganggap kuburan tersebut memiliki berkah dan sakti.
  • Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang dengan tegas menembok dan mencat kuburan dalam sabda beliau (yang artinya): “Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang mencat kubur, duduk diatasnya dan membangun di atasnnya.” [HR.Muslim]
  • Yang dimaksud dengan membangun dalam hadits tersebut adalah umum, sekalipun hanya berbentuk tembok saja. Apalagi membuatkan rumah untuk kuburan dengan biaya banyak sebagaimana telah dilakukan sebagian orang-orang yang jahil.
  • Berkata Imam asy-Syafi’i rahimahullah: “Aku melihat para ulama di Makkah menyuruh menghancurkan apa yang dibangun tersebut.” Al-Manawy berkata: “Kebanyakan ulamaSyafi’iyyah berfatwa tentang wajibnya menghancurkan segala bangunan di Qorofah (tanah pekuburan) sekali pun kubah Imam kita sendiri Syafi’i yang dibangun oleh sebagian penguasa.”

  • Membangun rumah untuk kuburan.
  • Sebagian orang ada pula yang mambangunkan rumah untuk kuburan. Bahkan kadang kala biayanya cukup besar. Ini adalah salah satu bentuk penyia-nyiaan dalam penggunaan harta. Mungkin orang yang melakukan hal tersebut berasumsi bahwa si mayat mendapat naungan dan nyaman dalam kuburnya. Sesungguhnya tidak ada yang dapat memberikan kenyamanan dalam kubur kecuali amalan sendiri, walau seindah apa pun kuburan seseorang tersebut.
    “Ibnu Umar melihat sebuah tenda di atas kubur Abdurrahman. Maka ia berkata: “Bukalah tenda tersebut wahai Ghulam (anak muda), maka sesungguhnya yang melindunginya hanyalah amalannya.”

  • Duduk dan makan di kuburan.
  • Bentuk lain yang merupakan jalan membawa kepada pengkultusan kuburan adalah kebiasaan sebagian orang mendatangi kuburan pada momen-momen tertentu. Seperti mau masuk bulan suci Ramadhan, Lebaran atau masa setelah panen. Mereka berbondong-bondong ke kuburan dengan membawa tikar dan makanan. Lalu sesampai di kuburan membentangkan tikar dan duduk bersama-sama. Dilanjutkan dengan rangkaian acara tahlilan dan do’a setelah itu ditutup acara makan bersama. Jika hal tersebut kita timbang dengan ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka sungguh sangat bertolak belakang sama sekali.
  • Jangankan untuk tahlilan dan makan bersama, duduk saja tidak diperbolehkan. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berikut ini (yang artinya): “Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: Sungguh salah seorang kalian duduk di atas bara api lalu membakar baju sehingga tembus ke kulitnya lebih baik daripada ia duduk di atas kuburan.” [HR.Muslim]
  • Kiranya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di atas amat jelas bagi orang yang hatinya mau menerima nasihat. Adapun orang yang mata hatinya sudah tertutup oleh Allah azza wa jalla dari menerima petunjuk, niscaya ia akan berupaya mencari-cari alasan untuk menolaknya.

  • Benarkah Tuntunan dalam Membaca al-Qur’an di kuburan ?
  • Sebagian orang ada yang berpandangan adanya keutamaan membaca al Qur’an ketika berziarah kubur seperti membaca Qs. al-Fatihah (1), QS. al-Ikhlas (114) atau QS. Yaasiin (36), dan yang lain-lain. Bahkan ada yang menyewa orang lain khusus untuk membaca dan mengkhatamkan al Qur’an di kuburan keluarganya pada hari-hari tertentu. Hal tersebut tidak pernah dianjurkan dalam agama ini.
  • Yang dianjurkan ketika berziarah kubur hanyalah membaca do’a ziarah kubur. Berbeda dengan orang yang suka melakukan hal-hal yang baik menurut pikiran dan perkiraan mereka semata. Tetapi tidak baik menurut Allah azza wa jalla karena hal tersebut merupakan perkara ibadah yang tidak ada dasarnya sama sekali dalam agama. Kalau seandainya hal tersebut baik, pastilah Allah azza wa jalla memerintahkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat untuk melakukannya. Apakah kita lebih tahu dari Allah azza wa jalla tentang hal yang baik?!
  • “Katakanlah apakah kamu yang lebih mengetahui ataukah Allah.” [QS.al Baqarah/2:140]
  • Adapun hadits-hadits yang dijadikan pegangan oleh sebagian orang dalam hal ini seperti hadits:
  • “Barangsiapa yang mendatangi kuburan lalu membaca surat Yasin, niscaya Allah akan meringankan adzab terhadap mereka pada waktu dan akan menjadikan dengan bilangan hurufnya kebaikan.” Ketahuilah bahwa ini adalah hadits Maudhu’ (palsu). Demikian pula hadits: “Barangsiapa yang melewati kuburan maka ia membaca surat al Ikhlas sebelas kali…”

  • Shalat dan berdo’a di kuburannya
  • Keyakinan lainnya yang amat aneh adalah pendapat yang mengatakan bahwa shalat dan berdo’a dikuburan jauh lebih baik daripada di masjid, bahkan berasumsi lebih cepat dikabulkan. Yang lebih celaka lagi adalah meminta kepada si penghuni kubur. Ini sudah merupakan kesyirikan yang serupa dan telah diperbuat oleh umat jahiliyyah dahulu. Jangankan untuk shalat di kuburan, shalat mengarah ke kuburan saja sudah haram hukumnya.
  • Maksudnya, syari’at Islam tidak membolehkan sholat di tempat yang pada arah kiblatnya terdapat kuburan, lebih-lebih shalat di tempat yang sekelilingnya kuburan. Di antara perbuatan dalam shalat adalah duduk, maka duduk pun dilarang di kuburan. Maksudnya di tempat tanah pekuburan, meskipun tidak persis di atas kuburan. Sebagaimana dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (yang artinya):
  • “Dari Abu Martsid al-Ghanawy radhiyallahu ‘anhu berkata: “Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: Janganlah kamu duduk di atas kuburan dan jangan pula shalat menghadapnya.” [HR.Muslim]
  • Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata: “Setan memiliki cara yang amat halus dalam menyesatkan manusa. Pertama ia mengajak untuk berdoa di kuburan. Maka orang tersebut berdoa dengan khusyuk dan tunduk sepenuh hati serta merasa lemah tidak berdaya. Maka Allah mengabulkan permintaannya lantaran apa yang terdapat dalam hatinya bukan karena kuburan. Seandainya dia berdoa seperti itu ditempat-tempat yang kotor sekalipun tentu Allah akan mengabulkan doanya. Lalu orang bodoh mengira bahwa itu adalah karena kuburan. Ketahuilah Allah azza wa jalla mengabulkan doa orang yang dalam kesulitan sekalipun orang kafir. Dan bukanlah setiap orang yang dikabulkan doanya berarti ia diridhoi dan dicintai Allah azza wa jalla atas perbuatannya. Sesungguhnya Allah azza wa jalla mengabulkan doa orang yang baik dan orang yang berdosa, orang mukmin dan orang kafir. Sebagian manusia berdoa dengan hal yang melampaui batas dan sesuatu yang dilarang, namun hal tersebut terkabul, maka ia mengira bahwa perbuatannya tersebut baik.”
  • Tatkala setan berhasil mempengaruhi manusia dengan berasumsi bahwa berdoa di kuburan lebih baik daripada berdoa di kuburan di masjid dan dirumahnya. Setan memindahkannya kepada tingkat yang berikutnya yaitu bertawassul dengan orang mati, hal ini lebih berbahaya daripada hal yang sebelumnya.[8] Tatkala setan berhasil pula mempengaruhi manusia bahwa bertawassul dengan orang mati lebih cepat terkabulkan permintaannya. Setelah itu, setan memindahkannya pada tingkat berikutnya, yaitu meminta kepada orang mati itu sendiri. Kemudian menjadikan kuburannya sebagai sesembahan dan tempat yang meminta. Lalu dinyalakan lampu disekelilingnya dan diberi kelambu, kemudian dilanjutkan membangun masjid diatasnya. Lalu sholawat, thowaf, menciumnya serta berhaji dan menyembelih hewan di sisinya. Kemudian berlanjut lagi pada tingkat berikutnya yaitu dengan mengajak manusia untuk menyembahnya dan menjadikan sebagai tempat perayaan dan manasik. Mereka meyakini bahwa hal itu lebih bermanfaat bagi dunia dan akhirat mereka.”[9]

  • Membangun masjid dekat kuburan atau mengubur mayat di pekarangan masjid
  • Sebagian orang telah terjerumus ke dalam kebiasaan Ahli Kitab, mereka membangun masjid dekat kuburan orang-orang yang mereka anggap sholih. Atau menguburkannya di pekarangan masjid. Padahal larangan terhadap perkara tersebut dengan tegas telah dijelaskan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (yang artinya):
  • “Dari Jundub ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda lima hari sebelum beliau wafat: Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian menjadikan kuburan para nabi dan orang-orang shalih mereka sebagai masjid. Ketahuilah! Janganlah kalian menjadikan kuburan sebagai masjid, sesungguhnya aku melarang kalian dari hal itu.”[HR.Muslim]
  • Dalam sabda beliau yang lain (yang artinya): “Dari Aisyah bahwa Ummu Salamah menyebutkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebuah gereja yang ia lihat di negeri Habasyah, yang diberi nama gereja Maria. Ia menceritakan bahwa ia melihat lukisan di dalamnya. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Mereka adalah kaum yang bila meninggal seorang yang sholih di kalangan mereka, mereka membangun masjid di atas kuburannya dan membuat lukisan-lukisan tersebut di dalamnya. Mereka adalah makhluk yang paling jelek di sisi Allah.” [HR.Bukhari dan Muslim]
  • Dari kedua hadits diatas sangat jelas menegaskan tentang haramnya membangun masjid di atas tanah pekuburan. Barangsiapa melakukannya maka ia telah melanggar larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan Jundub radhiyallahu ‘anhu. Orang yang melakukannya adalah makhluk yang paling jelek disisi Allah azza wa jalla sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat orang yang membangun masjid di atas tanah kuburan. Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu saat detik-detik terakhir dari kehidupan beliau (yang artinya):
  • “Dari Aisyah dan Abdullah ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhum, keduanya berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam semakin merasakan sakit, beliau menutup mukanya dengan bajunya. Apabila sakitnya agak berkurang beliau membuka mukanya. Dalam kondisi seperti itu beliau bersabda: Lakbat Allah lah di atas orang Yahudi dan Nasrani yang menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid.” [HR.Bukhari dan Muslim]
  • Hadits ini menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memperingatkan terhadap apa yang mereka perbuat. Di antara hikmahnya kenapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan hal tersebut saat beliau akan wafat ialah agar umat ini jangan meniru apa yang dilakukan orang Yahudi dan Nasrani tersebut. Kuburan para nabi saja tidak boleh dijadikan masjid, apalagi kuburan selainnya!!
  • Dalam riwayat lain Aisyah radhiyallahu ‘anha menyebutkan (yang artinya): “Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam waktu sakit yang beliau yang wafat padanya: Allah melaknat orang Yahudi dan Nasrani karena menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid. Berkata Aisyah radhiyallahu ‘anha, kalau bukan karena itu tentulah mereka (para sahabat) menjadikan di tempat kuburannya, melainkan aku takut akan dijadikan masjid.” [HR.Bukhari]
  • Hadits ini adalah diantara hadits-hadits yang terakhir yang diucapkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hidup beliau. Jadi tidak ada alasan bagi orang yang suka berkelit bahwa hadits tersebut mansukh. Kemudian Aisyah radhiyallahu ‘anha menyebutkan di antara hikmah dikuburnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam rumah beliau yaitu agar orang tidak mengkultuskan kuburan beliau.
  • Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Sesungguhnya larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan kuburannya dan kuburannya lainnya sebagai masjid karena khawatir timbulnya fitnah. Karena hal tersebut bisa membawa kepada kekufuran sebagaimana telah terjadi pada kebanyakan umat-umat yang lalu.”

  • Bertawasul dan beristighotsah dengan orang yang sudah mati
  • Ketika sebagian kaum muslimin tidak mengindahkan berbagai nasehat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang telah dijelaskan di atas, lalu setan menjerumuskan mereka kepada hal-hal yang membawa kepada kesyirikan. Sehingga sebagian orang yang telah memaknai lain terhadap kuburan. Mereka menjadikan kuburan sebagai mediator untuk berdoa, mereka bertawassul dan beristighotsah dengan orang mati.
  • Pada hakikatnya bertawassul itu terbagi kepada beberapa bentuk. Ada yang diperbolehkan dan ada pula yang terlarang. Yang dibolehkan adalah bertawassul dengan nama dan sifat-sifat Allah azza wa jalla, bertawassul dengan amal sholih dan bertawassul dengan doa orang yang sholih yang hidup lagi hadir. Yang terlarang adalah bertawassul dengan dzat dan Jaah (kedudukan) orang sholih, bertawassul dengan orang sholih yang hidup tetapi tidak hadir dan bertawassul dengan orang yang sudah mati.
  • Sebagian orang yang memahami dan mengira bahwa kehidupan para Nabi, orang yang mati syahid dan orang-orang sholih di alam Barzakh sama seperti kehidupan mereka di alam dunia. Mereka mengira bahwa Nabi atau orang sholih tersebut dapat mendengar doa mereka. Sehingga ketika mereka ditimpa masalah, mereka mendatangi kuburan para wali dengan maksud agar dibantu mencarikan jalan keluar dari kesulitan yang sedang mereka hadapi. Ada yang meminta jodoh, pekerjaan, dimudakan usahanya, disembuhkan penyakitnya dan seterusnya. Jangankan setelah kematian para wali tersebut, sewaktu hidupnya saja para wali tersebut tidak mampu memenuhi permintaan mereka. Jika minta kekayaan kepada mereka, sewaktu hidupnya saja walinya mengumpulkan sedekah dari murid-muridnya. Jika minta disembuhkan dari penyakit, wali itu sendiri tidak mampu menyembuhkan penyakitnya sampai dirinya meninggal.
  • Kenapa kita tidak secara langsung meminta kepada Allah Yang Maha Pengasih, Maha Pemurah, Maha Kaya lagi Maha dekat dan Maha sempurna dalam segala sifat-sifatnya yang mulia. Sedangkan selain Allah azza wa jalla adalah makhluk yang memiliki kekurangan dan kelemahan dalam berbagai segi. Ia tidak dapat mendengar dari jarak jauh, apalagi setelah mati. Jika ia memiliki sesuatu untuk diberikan kepada orang lain, maka sungguh amat terbatas kualitas dan kuantitasnya. Adapun Allah Yang Maha Kaya mampu memberi segala apa yang diminta oleh hamba-Nya dan berapapun jumlahnya.
  • Kehidupan para Nabi dan Syuhada’ di alam barzakh adalah kehidupan yang amat jauh berbeda dengan kehidupan dunia. Tidak ada yang mengetahui kondisi dan hakikatnya. Maka tidak boleh meng-qiaskan antara kehidupan alam barzakh dengan kehidupan alam dunia ini. Sebagaimana firman Allah azza wa jalla (yang artinya):
  • “Dan akan tetapi kalian tidak menyadarinya.”[QS.al-Baqarah/2:154]
  • Maksud dari ayat tersebut adalah bahwa kalian tidakah mengetahui bagaimana keadaan sebenarnya melalui panca indra. Karena hanya Allah azza wa jall yang mengetahui hakikat kehidupan mereka para syuhada’ tersebut.
  • Tidak pernah kita temukan pada kehidupan para sahabat bahwa mereka bertawassul dan beristighotsah dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam apalagi dengan para sahabat yang telah meninggal. Sekalipun di antara mereka yang meninggal tersebut ada yang dijamin masuk surga oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Demikian pula jika kita melihat doa-doa mustajab yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada sahabat beliau radhiyallahu ‘anhuma, tidak ada satupun dijumpai yang berkonteks tawassul dan beristighotsah dengan orang mati.
  • Jangankan untuk mengetahui kebutuhan orang lain, kelanjutan dari perjalanan hidup mereka sendiri setelah mati dan kapan dibangkitkan saja mereka tidak tahu. Sebagaimana firman Allah azza wa jalla (yang artinya):
    “Dan orang-orang yang mereka seru selain Allah, tidak menciptakan sesuatu apapun , sedangkan mereka sendiri diciptakan! Orang-orang mati tidak hidup, dan mereka tidak mengetahui bilakah mereka akan dibangkitkan.” [QS.an-Nahl/16:20-21]
  • “Katakanlah: Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghoib kecuali Allah, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan.” [QS.an-Naml/27:65]
  • Adapun dalil-dalil yang menyebutkan tentang si mayat dapat mendengar langkah orang yang mengantarkannya ke kubur tidak lah menunjukkan bahwa ia mendengar selama-lamanya. Namun pada hanya saat itu saja dan yang dapat ia dengar hanyalah suara langkah saja tidak semua apa yang ada di atas dunia. Kalau tidak demikian tentu mereka juga tersiksa dengan suara petir, hujan, angin kencang, suara binatang dan serangga yang ada di sekitar kuburnya serta segala hal yang memekakkan di dunia ini. Wallahu A’lam.

Sumber: Majalah Al-Furqon

7 Golongan yang Dilindungi Allah SWT di Akhirat


Rasulullah saw bersabda: ” Tujuh orang yang akan dilindungi Allah dalam naungan-Nya yaitu: Imam (pemimpin) yang adil; pemuda yang tumbuh dewasa dalam beribadah pada Allah; orang yang hatinya selalu terikat pada masjid; dua orang yang saling mencintai karena Allah, berkumpul karena Allah dan berpisah karena Allah pula; seorang lelaki yang dirayu oleh seorang wanita yang mempunyai kedudukan dan kecantikan tetapi ia menolaknya seraya berkata ‘Aku takut kepada Allah’; orang yang bersedekah sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diperbuat oleh tangan kanannya; dan seorang yang berdzikir kepada Allah sendirian lalu menitikkan airmatanya.” (HR. Bukhari Muslim)

  1. Imam (pemimpin) yang adil Dalam ajaran Islam, seorang imam atau pemimpin haruslah berlaku adil, karena segala hal yang menjadi tanggungjawabnya akan dipertanyakan kembali di akhirat kelak. Maka bergembiralah bagi pemimpin yang dapat berlaku adil, karena akan mendapatkan naungan di sisi Allah swt di akhirat nanti. Pemimpin yang dimaksud tidak hanya pemimpin sebuah negara ataupun penguasa suatu tempat, namun termasuk pula seorang suami yang memimpin isteri dan anak-anaknya dalam sebuah keluarga.
  2. Pemuda tumbuh dewasa dalam beribadah pada Allah swt Allah juga menjanjikan naungan atau lindungan di akhirat kepada pemuda yang senantiasa hidup dalam ibadah kepada Allah swt. Ibadah yang dilakukan tersebut dilakukan semata-mata karena Allah swt, seakan-akan Allah melihat segala perbuatan dan amal ibadahnya itu.
  3. Orang yang hatinya selalu terikat pada masjid Masjid adalah rumah Allah swt. Naungan Ilahi akan selalu ada di akhirat nanti bagi orang yang senantiasa rindu untuk beribadah di masjid dan merasa betah berada di dalamnya. Setiap waktu, ia selalu menunggu-nunggu tiba saatnya untuk datang ke masjid untuk sholat wajib maupun sunnah, sholat berjamaah, mengaji, mendengarkan ceramah, dan sebagainya.
  4. Dua orang yang saling mencintai karena Allah swt, berkumpul karena Allah dan berpisah karena Allah pula Dua orang yang saling mencintai karena Allah akan mendapatkan lindungan dari Allah swt di akhirat nanti, dan Allah swt akan mengizinkan kedua orang tersebut untuk masuk ke dalam syurga-Nya. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda: “Ada seorang lelaki yang ingin mengunjungi saudaranya di sebuah desa. Di dalam perjalanannya Allah SWT mengutus seorang malaikat untuk mengawasinya. Ketika lelaki itu sampai padanya, malaikat itu berkata, “Kemanakah engkau akan pergi?’ Lelaki itu menjawab, ‘Aku ingin mengunjungi saudaraku di desa ini.’ Malaikat itu bertanya lagi, ‘Apakah engkau punya kepentingan dari kenikmatan di desa ini?’ Lelaki itu menjawab, ‘Tidak, hanya saja aku mencintainya karena Allah.’ Kemudian malaikat itu berkata, ‘Sesungguhnya aku adalah utusan Allah SWT yang diutus kepadamu, bahwa Allah juga mencintaimu sebagaimana kamu mencintai-Nya.”
  5. Seorang lelaki yang dirayu oleh seorang wanita yang mempunyai kedudukan dan kecantikan tetapi ia menolaknya seraya berkata ‘Aku takut kepada Allah’ Hal tersebut merupakan salah satu ujian bagi seorang laki-laki, dimana wanita adalah ujian yang sungguh berat bagi kaum laki-laki. Seorang laki-laki yang beriman pada Allah swt takut kepada Allah dan takut kepada azab api neraka, sehingga laki-laki ini sentiasa mendapat perlindungan dari-Nya.
  6. Orang yang bersedekah sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diperbuat oleh tangan kanannya Allah swt akan memberikan perlindungan bagi orang yang suka memberi sedekah dengan ikhlas dan tidak mengharapkan balasan selain ridho Allah swt semata. Dalam bersedekah, ia tidak membesar-besarkannya, sebaliknya ia akan melakukannya secara tersembunyi dan tidak ingin diketahui orang lain.
  7. Seorang yang berdzikir kepada Allah sendirian lalu menitikkan airmatanya Berdzikir dengan hati yang tulus, ridho, dan ikhlas seorang diri, dengan perasaan takut kepada Allah hingga meneteskan airmata, sebagai tanda kecintaan kepada Allah swt, menyadari kebesaran Allah swt, serta merasa dirinya penuh dosa sehingga memohonan ampunan kepada-Nya. Allah akan membukakan pintu syurga untuk orang-orang yang seperti ini.

SUDAHKAH KAMU SEMUA DALAM GOLONGAN INI ?

Munafiq : Perbuatan Yang Sangat dicela Islam


Munāfiq atau Munafik (kata benda, dari bahasa Arab: منافق, plural munāfiqūn) adalah terminologi dalam Islam untuk merujuk pada mereka yang berpura-pura mengikuti ajaran agama namun sebenarnya tidak mengakuinya dalam hatinya.

Terminologi munafik dalam Al Qur’an

Dalam Al Qur’an terminologi ini merujuk pada mereka yang tidak beriman namun berpura-pura beriman.

QS (63:1-3) (1)Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: “Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah”. Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta. Mereka itu menjadikan sumpah mereka sebagai perisai, lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang telah mereka kerjakan. Yang demikian itu adalah karena bahwa sesungguhnya mereka telah beriman, kemudian menjadi kafir (lagi) lalu hati mereka dikunci mati; karena itu mereka tidak dapat mengerti.

Ciri-ciri orang munafik

Berdasarkan hadits, Nabi Muhammad SAW mengatakan :”Tanda orang-orang munafik itu ada tiga keadaan. Pertama, apabila berkata-kata ia berdusta. Kedua, apabila berjanji ia mengingkari. Ketiga, apabila diberikan amanah (kepercayaan) ia mengkhianatinya” (HR. Bukhari dan Muslim”).

Firman Allah SWT:

Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya Telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu ? mereka hendak berhakim kepada thaghut[312], padahal mereka Telah diperintah mengingkari thaghut itu. dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. Apabila dikatakan kepada mereka: “Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah Telah turunkan dan kepada hukum Rasul”, niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu.(QS. An Nisa 60-61).

Tafsir

Imam Jalalain dalam tafsir Jalalain menerangkan, tatkala terjadi perselisihan antara seorang Yahudi dan seorang munafik, orang munafik itu mengajak kepada gembong Yahudi Ka’ab bin Al Asyraf untuk menghukumi masalah keduanya. Sedangkan orang Yahudi itu justru mengajak kepada Nabi saw. Lalu keduanya mendatangi beliau saw. Nabi lalu memutuskan bahwa yang menang dalam perkara tersebut adalah orang Yahudi itu. Orang munafik itu tidak rela. Lalu keduanya mendatangi Umar bin Khaththab r.a. dan orang Yahudi itu menceritakan semua kejadian itu kepadanya. Lalu Umar bin Khaththab r.a. bertanya kepada orang munafik: Apakah benar demikian?
Orang munafik itu menyatakan benar. Lalu Umar membunuhnya.

Allah SWT berfirman:

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya Telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu ? mereka hendak berhakim kepada thaghut”.

Thagut dalam ayat ini menurut tafsir Jalalain adalah Ka’ab bin Al Asyraf. Padahal mereka telah diperintahkan untuk mengkufuri dia, yakni tidak berwala kepadanya. Dan setan hendak menyesatkan mereka dengan kesesatan yang jauh dari kebenaran. Dan bila dikatakan kepada mereka marilah kalian kepada hukum yang diturunkan Allah dalam Al Quran dan kepada Rasul agar dia menghukum di antara kalian maka engkau akan melihat orang-orang munafik benar-benar menghalang-halangi manusia untuk mendatangi engkau (wahai Rasul) sehingga datang kepada yang lain.

Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan bahwa firman Allah SWT di atas merupakan penolakan Allah SWT terhadap sikap orang munafik yang mengklaim bahwa mereka beriman kepada hukum yang diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya dan para Nabi terdahulu. Orang munafik itu ingin berhukum untuk memutuskan berbagai perselisihan dengan selain kitabullah dan sunnah Rasul-Nya.

Imam Ibnu Katsir menerangkan bahwa sebab turunnya ayat ini adalah tentang seorang dari kalangan Anshar dan seorang dari kalangan Yahudi bersengketa. Yahudi berkata: antara aku dan anda adalah Muhammad. Sedangkan orang Anshar itu berkata: anatara aku dan engkau adalah Ka’ab bin Al Asyraf. Ada yang mengatakan ayat tersebut turun berkenaan dengan sekelompok kaum munafik berhukum kepada hukum jahiliyah.

Ada juga menyatakan ayat itu turun berkenaan dengan yang lain. Namun ayat itu bersifat lebih umum dari semua itu. Ini merupakan celaan terhadap orang yang mengganti Kitabullah dan As Sunnah lalu berhukum kepada selain keduanya yang batil tentunya. Inilah yang dimaksud dengan thagut di sini. Oleh karena itu, Allah SWT berfirman: “Mereka berkehendak untuk berhukum kepada thagut, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengkufurinya dan setan berkehendak menyesatkan mereka dengan kesesatan yang jauh. Dan bila dikatakan kepada mereka marilah kepada apa yang diturunkan Alalh dan kepada Rasul maka engkau melihat orang-orang munafik benar-benar menghalangi manusia darimu”

Sikap Munafik Menolak Hukum Allah

Firman Allah “mereka benar-benar menghalangi manusia darimu”, yakni menolakmu seperti orang-orang yang takabur. Sebagaimana penolakan orang-orang musyrik dalam firman-Nya: Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang diturunkan Allah”. mereka menjawab: “(Tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya”….” (QS. Luqman 21).

Sikap kaum munafik dan kaum musyrik itu berbeda dari sikap orang-orang mukmin yang dikatakan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:

Sesungguhnya jawaban oran-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. “Kami mendengar, dan kami patuh”. dan mereka Itulah orang-orang yang beruntung.(QS. An Nuur 51).

Sasaran hukum Allah SWT yang diputuskan oleh Rasulullah saw. dalam ayat di atas adalah untuk seluruh warga negara, yakni untuk mengatasi persolan di antara sesama kaum muslimin maupun antara kaum muslimin dengan kaum non muslim yang menjadi warga negara daulah Islamiyyah di kota Madinah pada waktu itu.

Kenapa terhadap orang non muslim yang menjadi warga negara daulah Islamiyyah diterapkan hukum Allah SWT? Itulah perintah Allah SWT. Sebagaimana dalam firman-Nya:

Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. (QS. Al maidah 49).

Ibnu Abbas r.a. dalam tafsirnya menjelaskan bahwa kata “mereka” dalam ayat di atas maksudnya adalah kaum Yahudi Bani Quraizhah, Yahudi Bani Nadlir, dan Yahudi Khaibar yang minta keputusan hukum kepada Rasulullah saw.

Dan dalam asbabun nuzul dari firman Allah SWT dalam surat An Nisa di atas justru orang Yahudi merasa sreg dengan berhukum kepada Rasulullah saw. Salah satu sebabnya karena beliau tidak menerima suap dalam mengadili perkara. Dan Yahudi itu menolak berhukum tokoh Yahudi, Ka’ab bin al Asyraf, karena suka menerima suap dalam mengadili perkara.

Orang-orang munafik menolak hukum-hukum Allah SWT karena sesungguhnya mereka adalah kufur di dalam hatinya walaupun penampilan luarnya muslim. Ayat di atas mengungkap sikap mereka yang ironis, yakni menghalangi orang non muslim untuk berhukum kepada Rasulullah saw.

Dari berbagai sumber

Bidah Dalam Agama Islam


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikan semua risalah, tidak ada satupun yang ditinggalkan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunaikan amanah dan menasehati umatnya. Kewajiban seluruh umat mengikuti petunjuk Nabi Muhammad ‘Alaihi Shallatu wa sallam, karena sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan.

Wajib bagi seluruh ummat untuk mengikuti beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak berbuat bid’ah serta tidak mengadakan perkara-perkara yang baru karena setiap yang baru dalam agama adalah bid’ah dan setiap yang bid’ah adalah sesat. Tidak diragukan lagi bahwa setiap bid’ah dalam agama adalah sesat dan haram
Bid‘ah (Bahasa Arab: بدعة) dalam agama Islam berarti sebuah perbuatan yang tidak pernah diperintahkan maupun dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW tetapi banyak dilakukan oleh masyarakat sekarang ini. Hukum dari bidaah ini adalah haram. Perbuatan dimaksud ialah perbuatan baru atau penambahan dalam hubungannya dengan peribadatan dalam arti sempit (ibadah mahdhah), yaitu ibadah yang tertentu syarat dan rukunnya.

Pemakaian kata tersebut di antaranya ada pada :

Firman Allah ta’ala : بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ

” (Dialah Allah) Pencipta langit dan bumi.” (Q.s.2:117)

Firman Allah ta’ala : قُلْ مَا كُنتُ بِدْعاً مِّنْ الرُّسُلِ

” Katakanlah (hai Muhammad), “ Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rosul-rosul.” (Q.s:46:9)

Perkataan اِبتدع فلانٌ بدعة

Maknanya: Dia telah merintis suatu cara yang belum pernah ada yang mendahuluinya.

Perkataan هذاأمرٌبديعٌ

Maknanya: sesuatu yang dianggap baik yang kebaikannya belum pernah ada yang menyerupai sebelumnya. Dari makna bahasa seperti itulah pengertian bid’ah diambil oleh para ulama.

Jadi membuat cara-cara baru dengan tujuan agar orang lain mengikuti disebut bid’ah (dalam segi bahasa).

Sesuatu perkerjaan yang sebelumnya belum perna dikerjakan orang juga disebut bid’ah (dalam segi bahasa).

Terlebih lagi suatu perkara yang disandarkan pada urusan ibadah (agama) tanpa adanya dalil syar’i (Al-Qur’an dan As-Sunnah) dan tidak ada contohnya (tidak ditemukan perkara tersebut) pada zaman Rosulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam maka inilah makna bid’ah sesungguhnya.

Secara umum, bid’ah bermakna melawan ajaran asli suatu agama (artinya mencipta sesuatu yang baru dan disandarkan pada perkara agama/ibadah).

Para ulama [1] salaf telah memberikan beberapa definisi bidah. Definisi-definisi ini memiliki lafadl-lafadlnya berbeda-beda namun sebenarnya memiliki kandungan makna yang sama.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,Bidah dalam agama adalah perkara yang dianggap wajib maupun sunnah namun yang Allah dan rasul-Nya tidak syariatkan. Adapun apa-apa yang Ia perintahkan baik perkara wajib maupun sunnah maka harus diketahui dengan dalil-dalil syariat.

Imam Syathibi, bid’ah dalam agama adalah Satu jalan dalam agama yang diciptakan menyamai syariat yang diniatkan dengan menempuhnya bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada Allah.

Ibnu Rajab, Bidah adalah mengada-adakan suatu perkara yang tidak ada asalnya dalam syariat. Jika perkara-perkara baru tersebut bukan pada syariat maka bukanlah bidah, walaupun bisa dikatakan bidah secara bahasa

Imam as-Suyuthi, beliau berkata, Bidah adalah sebuah ungkapan tentang perbuatan yang menentang syariat dengan suatu perselisihan atau suatu perbuatan yang menyebabkan menambah dan mengurangi ajaran syariat.

Dengan memperhatikan definisi-definisi ini akan nampak tanda-tanda yang mendasar bagi batasan bidah secara syariat yang dapat dimunculkan ke dalam beberapa point di bawah ini :

Bahwa bidah adalah mengadakan suatu perkara yang baru dalam agama. Adapun mengadakan suatu perkara yang tidak diniatkan untuk agama tetapi semata diniatkan untuk terealisasinya maslahat duniawi seperti mengadakan perindustrian dan alat-alat sekedar untuk mendapatkan kemaslahatan manusia yang bersifat duniawi tidak dinamakan bidah.

Bahwa bidah tidak mempunyai dasar yang ditunjukkan syariat. Adapun apa yang ditunjukkan oleh kaidah-kaidah syariat bukanlah bidah, walupun tidak ditentukan oleh nash secara khusus. Misalnya adalah apa yang bisa kita lihat sekarang: orang yang membuat alat-alat perang seperti kapal terbang,roket, tank atau selain itu dari sarana-sarana perang modern yang diniatkan untuk mempersiapkan perang melawan orang-orang kafir dan membela kaum muslimin maka perbuatannya bukanlah bidah. Bersamaan dengan itu syariat tidak memberikan nash tertentu dan rasulullah tidak mempergunakan senjata itu ketika bertempur melawan orang-orang kafir. Namun demikian pembuatan alat-alat seperti itu masuk ke dalam keumuman firman Allah taala,Dan persiapkanlah oleh kalian untuk mereka (musuh-musuh) kekuatan yang kamu sanggupi.Demikian pula perbuatan-perbuatan lainnya. Maka setiap apa-apa yang mempunyai asal dalam sariat termasuk bagian dari syariat bukan perkara bidah.

Bahwa bidah semuanya tercela (hadits Al ‘Irbadh bin Sariyah dishahihkan oleh syaikh Al Albani di dalam Ash Shahiihah no.937 dan al Irwa no.2455)

Bahwa bidah dalam agama terkadang menambah dan terkadang mengurangi syariat sebagaimana yang dikatakan oleh Suyuthi di samping dibutuhkan pembatasan yaitu apakah motivasi adanya penambahan itu agama. Adapun bila motivasi penambahan selain agama, bukanlah bidah. Contohnya meninggalkan perkara wajib tanpa udzur, maka perbuatan ini adalah tindakan maksiat bukan bidah. Demikian juga meninggalkan satu amalan sunnah tidak dinamakan bidah. Masalah ini akan diterangkan nanti dengan beberapa contohnya ketika membahas pembagian bidah. InsyaAllah.

Bidah merupakan pelanggaran yang sangat besar dari sisi melampaui batasan-batasan hukum Allah dalam membuat syariat, karena sangatlah jelas bahwa hal ini menyalahi dalam meyakini kesempurnaan syariat.Menuduh Rasulullah Muhammad SAW menghianati risalah, menuduh bahwa syariat Islam masih kurang dan membutuhkan tambahan serta belum sempurna. Jadi secara umum dapat diketahui bahwa semua bid’ah dalam perkara ibadah/agama adalah haram atau dilarang sesuai kaedah ushul fiqih bahwa hukum asal ibadah adalah haram kecuali bila ada perintah dan tidaklah tepat pula penggunaan istilah bid’ah hasanah jika dikaitkan dengan ibadah atau agama sebagaimana pandangan orang banyak, namun masih relevan jika dikaitkan dengan hal-hal baru selama itu berupa urusan keduniawian murni misal dulu orang berpergian dengan unta sekarang dengan mobil, maka mobil ini adalah bid’ah namun bid’ah secara bahasa bukan definisi bid’ah secara istilah syariat dan contoh penggunaan sendok makan, mobil, mikrofon, pesawat terbang pada masa kini yang dulunya tidak ada inilah yang hakekatnya bid’ah hasanah. Dan contoh-contoh perkara ini tiada lain merupakan bagian dari perkara Ijtihadiyah

Kontroversi Bidah

Bermunculannya kelompok-kelompok Islam yang membawa pemikiran keagamaan baru yang kerap menganggap bid’ah (mengada-ada) tradisi ritual kalangan nahdliyyin (sebutan untuk warga Nahdlatul Ulama/NU) ditanggapi oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Rois Syuriah PBNU KH Ma’ruf Amin menegaskan, bid’ah yang lebih besar adalah pemikiran keagamaan yang tidak berlandaskan pada madhab apapun.

“Pemikiran yang tidak menggunakan madhab itulah yang justru merupakan bid’ah yang lebih besar,” kata Kiai Ma’ruf dalam sambutannya saat membuka Halaqah Dakwah II yang digelar Pimpinan Pusat (PP) Lembaga Dakwah (LD) NU di Asarama Haji, Pondok Gede, Jakarta, Sabtu (2/9).

Menurut Kiai Ma’ruf, begitu panggilan akrab kiai yang juga Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia ini, hal itulah yang terjadi dewasa ini dalam khasanah pemikiran ke-Islam-an. Marak sekali kelompok yang mengatasnamakan Islam dengan begitu mudahnya mem-bid’ah-kan, bahkan mengkafirkan serta menganggap sesat orang lain.

Demikian juga ia menyinggung bermunculannya gerakan keagamaan yang mengarah pada liberalisme pemikiran. Gerakan itu, katanya, terjadi sebagai akibat dari pemikiran keagamaan yang tanpa menggunakan landasan madhab apapun.

Menurut cucu ulama besar Syeikh Nawawi al Bantani ini, NU, sebagai organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia, bukanlah organisasi yang liar. “NU itu bukan organisasi yang liar, bukan organisasi yang liberal tanpa landasan. Bukan pula organisasi yang konservatif, jumud atau stagnan. Melainkan organisasi yang dinamis,” terangnya di hadapan para peserta halaqah yang merupakan para da’i NU.

Dijelaskan Kiai Ma’ruf, meski terdapat sejumlah madhab, tapi NU mencoba untuk selektif menggunakannya. Dalam bidang akidah, NU menganut madhab yang dikembangkan Abu Hasan al Asy’ari (Asy’ariyah) dan Abu Mansur al Maturidi (Maturidiyah). Sementara dalam bidang fikih, mengikuti empat madhab, Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Imam Hambali dan Imam Maliki. Sedangkan dalam bidang tasawuf mengikuti Imam Ghozali.

Keseluruhan madhab itu yang oleh NU dirangkum dalam fikrah nahdliyyah (landasan berpikir kalangan nahdliyyin), lanjut Kiai Ma’ruf, merupakan bukti bahwa anggapan bid’ah yang kerap diarahkan pada NU adalah keliru. “Ini merupakan ‘master’ dari pada kerangka berpikir orang NU. Inilah yang menjadi dasar bagi NU dalam berpikir, bersikap dan bertindak,” katanya.

Lebih lanjut, Kiai Ma’ruf menjelaskan, fikrah nahdliyyah itu tercermin dalam lima sikap yang menjadi ciri khas NU. Antara lain, tasawuthiyah (moderat), tasamuhiyah (toleran), islahiyah (perbaikan/reformatif), tathohurriyyah (dinamis) dan manhajiyah (metodologis). “NU itu selalu di atas rel dalam cara pikirnya,” tandasnya.

Iri dan Dengki Penyakit Hati Yang Harus Dijauhi dan Cara Menghadapinya


Banyak karakter dalam sosial dibelahan dunia manapun dari setiap ras, bangsa, agama, umur, budaya dan lingkungan yang membutuhkan pengertian jiwa dan logika kedewasaan agar semua itu bisa diterima dengan hati legowo tanpa terpaksa. Saya termasuk dalam kategori personal yang mencoba memahami berbagai karakter tersebut yang dengan senang hati menerima karakter baik seseorang tapi dalam kenyataannya sangat sulit untuk menerima karakter negatif seseorang dalam sosial. Dalam pengamatan saya, ada beberapa karakter negatif yang umum berada dlm lingkungan sosial seperti : berkata kasar dan sinis, bersumpah serapah, iri dengki, tidak sportif dan sombong.

Sebagian manusia tidak mampu mengelakkan dirinya dari sifat iri dan dengki. Dengki kepada rekan yang baru naik jabatan, dengki kepada tetangga yang punya mobil mewah, dengki kepada saudara yang anaknya sarjana dan dengki kepada seorang ustadz yang memiliki murid yang pintar dan lain sebagainya.

Dan sungguh tidak bisa dibayangkan, ketika abad globalisasi dan keterbukaan yang telah mulai membuka pintunya akan semakin memberikan peluang untuk membuka ‘kran hati’ untuk saling mendengki. Karena ukuran globalisasi identik dengan materi. Orang pun semakin tak bisa mengendalikan hati.

Rasa dengki dan iri baru tumbuh manakala orang lain menerima nikmat. Biasanya jika seseorang mendapatkan nikmat, maka akan ada dua sikap pada manusia. Pertama, ia benci terhadap nikmat yang diterima kawannya dan senang bila nikmat itu hilang daripadanya. Sikap inilah yang disebut hasud, dengki dan iri hati. Kedua, ia tidak menginginkan nikmat itu hilang dari kawannya, tapi ia berusaha keras bagaimana mendapatkan nikmat semacam itu. Sikap kedua ini dinamakan ghibthah (keinginan). Yang pertama itulah yang dilarang sedang yang kedua diperbolehkan.

Beberapa Kisah Al Qur’an tentang Orang-orang yang Dengki

Dalam bahasa sarkasme, orang pendengki adalah orang yang senang melihat orang lain dilanda bencana, dan itu disebut syamatah. Syamatah dengan hasad selalu berkait dan berkelindan. Dari sini kita tahu, betapa jahat seorang pendengki, ia tidak rela melihat orang lain bahagia, sebaliknya ia bersuka cita melihat orang lain bergelimang lara. Allah Ta’ala menggambarkan sikap dengki ini dalam firmanNya, yang artinya: “Bila kamu memperoleh kebaikan, maka hal itu menyedihkan mereka, dan kalau kamu ditimpa kesusahan maka mereka girang karenanya.” (QS. Ali Imran: 120)

Dengki juga merupakan sikap orang-orang ahli Kitab. Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Kebanyakan orang-orang ahli Kitab menginginkan supaya mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, disebabkan karena kedengkian (hasad) yang ada dalam jiwa mereka.” (QS. Al Baqarah: 109)

Kedengkian saudara-saudara Yusuf kepada dirinya mengakibatkan sebagian dari mereka ingin menghabisi nyawa saudaranya sendiri, Yusuf ‘Alaihis Salam. Allah Ta’ala mengisahkan dalam firmanNya, yang artinya: “(Yaitu) ketika mereka berkata: Sesungguhnya Yusuf dan saudara kandungnya (Bunyamin) lebih dicintai ayah kita daripada kita sendiri, padahal kita (ini) adalah satu golongan (yang kuat). Sesungguhnya ayah kita adalah dalam kekeliruan yang nyata. Bunuhlah Yusuf atau buanglah ia ke suatu daerah (yang tak dikenal) supaya perhatian ayahmu tertumpah kepadamu saja dan sesudah itu hendaklah kamu menjadi orang-orang yang baik.” (QS. Yusuf: 8 – 9)

Terhadap orang-orang pendengki tersebut Allah Ta’ala dengan keras mencela: “Apakah mereka dengki kepada manusia lantaran karunia yang Allah berikan kepadanya?” (QS. An Nisaa’: 54)

Rasulullah Saw bersabda Hasad, iri, &, dangki akan mengerogoti dan memakan segala kebaikan sebagai mana api membakar kayu api yang kering”. Jika seseorang melakukan amal kebaikan (shalat, puasa, infak dsb) ia sedang berada dalam wadah kebaikan yang akan mendapatkan pahala dari Allah Swt sebagai imbalanya. Namun, ada satu jenis penyakit yang sangat membahayakan sekali terhadap eksistensi/nilai amal maupun yang punya amal, dialah penyakit Hasad, iri dan dengki. Seperti yang di sabdakan Rasulullah Saw di atas, sehingga amal ibadah yang kita lakukan akan menjadi sia-sia belaka “Minyak Abis samba indak lamak” begitu kata orang MinangKabau mengibaratkanya.

Orang pintar bilang, hidup ini adalah perjuangan, perjuangan butuh pengorbanan baik dalam ujud materi, tenaga maupun pikiran. Begitu juga dalam mengarungi lautan kehidupan ini, hidup dalam bermasyarakat apalagi di zaman sekarang (moderen), baik dalam berelasi, berkongsi, berserikat dsb kecendrungan untuk selalu menjadi yang terdepan dalam meraih hasil yang terbanyak sangatlah tinggi ( baca: persaingan). Jikalau diri sampai lepas kontrol dalam meyingkapinya jelas kegagalanlah yang akan menghampiri kita, yang berimbas pada kegalauan pikiran dan kegoncangan jiwa, yang di iringi dengan munculnya berbagai macam penyakit seperti stres, depresi, tekanan jiwa, sampai pada penyakit hati yang sangat berbahaya seperti lahirnya sifat hasad, iri dan dengki.

Jelas sangat tidak rasional sekali pergi ketempat-tempat yang dianggap keramat meminta dan memohon padanya supaya orang lain yang sukses karena memang hasil jerih payahnya sendiri, agar menjadi hancur dan gagal. Sangat ironi sekali sebagai umat islam yang mengaku beriman dan selalu bersyukur masuk rumah sakit hanya gara-gara mendengar/di perdengarkan tetangga kita membeli televisi, kulkas, rumah baru, mobil baru dsb. Namun, hal ini akan jauh dari kehidupan kita kalau tabiat dan sifat-sifat yang di larang agama, baik secara luas maupun sempit, baik secara umum maupun khusus, serta selalu mengutamakan sifat syukur nikmat, lapang dada, sabar, saling berbagi dsb. Apalagi hal ini bisa kita terapkan di bulan penuh ampunan yang beberapa bulan lagi akan datang ( Ramadhan), agar apa yang menjadi tujuan dari ibadah puasa tersebut (yaitu taqwa) dapat kita raih dengan kemenangan yang spektakuler menuju pada kefitrahan diri (Insya Allah). Jangan seperti yang Rasulullah Saw sabdakan ini “Banyak orang yang berpuasa tidak memperoleh apa-apa kecuali hanya sekedar lapar dan dahaga “. hal inilah yang sangat beliau takutkan menimpa umatnya hanya gara-gara memendam sifat hasad, iri, dengki, suka memfitnah, bergunjing, mencela dsb yang berakibat buruk sekali terhadap amalan mereka serta sangat di larang sekali oleh ajaran agama islam.

Dengki pada hakekatnya berkorelasi dengan konstelasi pribadi seseorang yang berhubungan dengan usaha untuk memuaskan diri sendiri, senang melihat orang lain di timpa kesusahan dan susah melihat orang lain mendapat nikmat. Pada dasarnya pendengki akhlaknya sangat buruk sekali, pikiranya kotor serta selalu mencari kesalahan orang lain dengan berbagai macam cara. Namun sejahat-jahat sifat hasad, iri, dengki adalah ulama yang memiliki sifat ini, karena ia akan memakai dalil-dalil dalam Al Quran dan Sunah Saw untuk melancarkan sifatnya tersebut. Namun, sejauh mana seseorang dalam eksistensinya telah mencapai apa yang di inginkanya. Jika seseorang telah mencapai keadaan itu, ia tak mudah memperoleh rangsangan yang mudah membangkitkan dan untuk memperoleh keinginan dari luar, atau ingin memiliki sesuatu yang di miliki orang lain. Eksistensi pribadi yang rapuh&goyah menyebabkan mudah timbulnya berbagai keinginan untuk menyamai, melebihi, atau bahkan menguasai orang lain dengan maksud menentramkan dan memakmurkan dirinya sendiri yang biasanya berhubungan dengan sistim kebutuhan/materi maupun dalam hal pangkat dan jabatan.

Sementara diri secara gaib akan di pengaruhi dan di goda Setan dan Iblis yang merupakan musuh yang nyata bagi manusia bahkan akan terus memompa dan memanas-manasi manusia dengan memunculkan keinginan-keinginan buruk untuk menghalalkan segala cara, yang berawal dari memperturutkan hawa nafsu. Atas keberadaan Setan dan Iblis ini yang akan terus berusaha membawa umat manusia ke lembah kenistaan dan kehinaan, telah di beritahukan Allah Swt dalam Qs Yassin-60 “ Bukankah Aku telah memerintahkan padamu hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah (menuruti bisikan Syaitan?). Sesungguhnya Syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu “. Sabda Rasulullah Saw ‘ Telah masuk kedalam tubuhmu penyakit-penyakit umat terdahulu (yaitu)Hasad, Iri, Dengki, itulah yang akan membinasakan agama, bukan dengki dan iri mencukur rambut “. ( Hr. Ahmad & Tarmizi ).

Maksud hadis Rasulullah Saw di atas adalah bahwa hancurnya atau terpecahnya agama menjadi tercerai-berai, saling membenci, bermusuhan dan saling merusak tiada lain di sebabkan oleh sifat hasad, iri dan saling mendengki di antara penganutnya sendiri yang tak berkesudahan, dan membiarkan keadaan diri dan rohaninya di permainkan oleh tipu daya setan dan iblis. Bukankah Iblis di keluarkan dan di usir dari dalam sorga oleh Allah karena menyimpan sifat hasad, iri dan dengki dengan keberadaan Adam yang di nampakan dalam sikapnya yang sombong, angkuh dan pongah yang terkenal dengan istilah Aba wa Istaqbara atau aku lebih baik dari pada dia ?. Padahal Iblis di perintahkan Allah sujud pada Adam hanya untuk menghormati keberadaannya di dalam sorga yang akhirnya mencikal bakali kemunculan umat manusia di permukaan bumi ini.

Begitu juga penyakit hasad, iri dan dengki ini juga menimpa anak keturunan Nabi Adam ( Qabil) yang terus di kompori oleh iblis untuk memiliki saudara kembar yang bukan haknya dengan melampiaskan kedengkian hatinya pada adiknya sendiri (Habil). Sehingga jatuhlah claim terhadap diri si Qabil sebagai pelaku pembunuhan pertama di atas bumi ini, sedangkan darah pertama yang membasahi bumi Allah ini adalah darah dari tubuh si Habil. Hal ini tidak akan pernah bisa di bendung sampai akhir zaman selama sifat hasad, iri, dengki sifat, sombong, pongah dan sifat-sifat buruk lainya tetap di pelihara dalam hati setiap manusia. Setiap pembunuhan yang terjadi di muka bumi ini sampai akhir zaman maka Qabil akan mendapat dosanya selain dosa si pembunuh tsb. Semoga Allah menjauhkan kita dari sifat ini. Allah Swt berfiraman “ Dan carilah pada apa-apa yang telah di karuniakan Allah kepadamu dari kenikmatan dunia dan berbuat baiklah kepada orang lain. Sebagaimana Allah telah berbuat baik kapadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi ( Qs Al Qashash-77 ). “Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih di cintai oleh Allah dari pada orang mukmin yang lemah” ( Al Hadis ).

Firman Allah dan hadis Saw di atas memerintahkan pada umat manusia untuk selalu berprilaku baik terhadap semua makhluk dan berlaku lemah lembut dalam usaha mencari kebahagiaan dunia wal akhirat dengan mempergunakan kekuatan dan ilmu pengetahuan yang dimiliki ke jalan yang baik dan benar. Karena setiap manusia yang di ciptakan Allah ke atas dunia ini bukanlah untuk jadi pecundang dan sampah masyarakat tapi manusia itu telah di siapkan oleh Allah, berpotensi besar untuk menjadi orang yang berguna baik untuk diri sendiri, keluarga maupun untuk bangsa dan negara ini apalagi untuk kehidupan akherat kelak. Dalam hal ini sangat di anjurkan sekali mengambil dan mengupas keteladanan dari Rasulullah Saw yang telah tercatat sebagai manusia tersukses dunia akherat dalam sejarah umat manusia.

Baru berumur 12 tahun saja sudah melakukan perjalanan jauh untuk berdagang, dan pada umur 25 tahun telah menjadi seorang pemuda yang memiliki akhlak mulia dan sangat terpercaya pribadinya. Dan yang sangat mengagumkan dan akan di kenang oleh seluruh umat islam di seluruh penjuru dunia ini adalah Beliau telah berhasil dengan sukses, walaupun tidak sedikit rintangan dan halangan sampai pada ancaman untuk merobah prikehidupan khususnya bangsa Arab (jahiliyah) ke arah yang berprikemanusiaan, beradab dan berketuhanan. Mempersatukan masyarakat Arab dalam segala bidang dengan segala daya dan upaya hanya dalam kurun waktu 20 tahun. Yang menginspirasi berkembangnya ajaran islam ke seluruh pelosok dunia dengan segala nikmat yang di bawanya. Lalu bagaimana dengan negara yang sudah bebas dari belenggu penjajahan seperti Indonesia ini?, yang sudah merdeka lebih kurang sudah 60 tahun, namun masih ada yang tega membunuh, menghina dan mencaci-maki memperkosa hak-hak asasi manusia, tingkat korupsi yang semakin menggila, kasus busung lapar di mana-mana dalam negeri yang kaya raya dan masih banyak lagi untuk di sebutkan. Padahal negeri ini terkenal dengan tingkat kereligiusanya yang tinggi dan memiliki umat islam terbesar.

Sebab-sebab Dengki

Rasa dengki pada dasarnya tidak timbul kecuali karena kecintaan kepada dunia. Dan dengki biasanya banyak terjadi di antara orang-orang terdekat; antar keluarga, antarteman sejawat, antar tetangga dan orang-orang yang berde-katan lainnya. Sebab rasa dengki itu timbul karena saling berebut pada satu tujuan. Dan itu tak akan terjadi pada orang-orang yang saling berjauhan, karena pada keduanya tidak ada ikatan sama sekali.

Adapun orang yang mencintai akhirat, yang mencintai untuk mengetahui Allah, malaikat-malaikat, nabi-nabi dan kerajaanNya di langit maupun di bumi maka mereka tidak akan dengki kepada orang yang mengetahui hal yang sama. Bahkan sebaliknya, mereka malah mencintai bahkan bergembira terhadap orang-orang yang mengetahuiNya. Karena maksud mereka adalah mengetahui Allah dan mendapatkan kedudukan yang tinggi di sisiNya. Dan karena itu, tidak ada kedengkian di antara mereka.

Kecintaan kepada dunia yang mengakibatkan dengki antarsesama disebabkan oleh banyak hal. Di antaranya karena permusuhan. Ini adalah penyebab kedengkian yang paling parah. Ia tidak suka orang lain menerima nikmat, karena dia adalah musuhnya. Diusahakanlah agar jangan ada kebajikan pada orang tersebut. Bila musuhnya itu mendapat nikmat, hatinya menjadi sakit karena bertentangan dengan tujuannya. Permusuhan itu tidak saja terjadi antara orang yang sama kedudukannya, tetapi juga bisa terjadi antara atasan dan bawahannya. Sehingga sang bawahan misalnya, selalu berusaha menggoyang kekuasaan atasannya.

Sebab kedua adalah ta’azzuz (merasa paling mulia). Ia keberatan bila ada orang lain melebihi dirinya. Ia takut apabila koleganya mendapatkan kekuasaan, pengetahuan atau harta yang bisa mengungguli dirinya.

Sebab ketiga, takabbur atau sombong. Ia memandang remeh orang lain dan karena itu ia ingin agar dipatuhi dan diikuti perintahnya. Ia takut apabila orang lain memperoleh nikmat, berbalik dan tidak mau tunduk kepadanya. Termasuk dalam sebab ini adalah kedengkian orang-orang kafir Quraisy kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang seorang anak yatim tapi kemudian dipilih Allah untuk menerima wahyuNya. Kedengkian mereka itu dilukiskan Allah Ta’ala dalam firmanNya, yang artinya: “Dan mereka berkata: Mengapa Al Qur’an ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Makkah dan Thaif) ini?” (QS. Az Zukhruf: 31) Maksudnya, orang-orang kafir Quraisy itu tidak keberatan mengikuti Muhammad, andai saja beliau itu keturunan orang besar, tidak dari anak yatim atau orang biasa.

Sebab keempat, merasa ta’ajub dan heran terhadap kehebatan dirinya. Hal ini sebagaimana yang biasa terjadi pada umat-umat terdahulu saat menerima dakwah dari rasul Allah. Mereka heran manusia yang sama dengan dirinya, bahkan yang lebih rendah kedudukan sosialnya, lalu menyandang pangkat kerasulan, karena itu mereka mendengki-nya dan berusaha menghilangkan pangkat kenabian tersebut sehingga mereka berkata: “Adakah Allah mengutus manusia sebagai rasul?” (QS. Al-Mu’minun: 34). Allah Ta’ala menjawab keheranan mereka dengan firmanNya, yang artinya: “Dan apakah kamu (tidak percaya) dan heran bahwa datang kepada kamu peringatan dari Tuhanmu dengan perantaraan seorang laki-laki dari golonganmu agar dia memberi peringatan kepadamu ?” (QS. Al A’raaf: 63)

Sebab kelima, takut mendapat saingan. Bila seseorang menginginkan atau mencintai sesuatu maka ia khawatir kalau mendapat saingan dari orang lain, sehingga tidak terkabullah apa yang ia inginkan. Karena itu setiap kelebihan yang ada pada orang lain selalu ia tutup-tutupi. Bila tidak, dan persaingan terjadi secara sportif, ia takut kalau dirinya tersaingi dan kalah. Dalam hal ini bisa kita misalkan dengan apa yang terjadi antardua wanita yang memperebutkan seorang calon suami, atau sebaliknya. Atau sesama murid di hadapan gurunya, seorang alim dengan alim lainnya untuk mendapatkan pengikut yang lebih banyak dari lainnya, dan sebagainya.

Sebab keenam, ambisi memimpin (hubbur riyasah). Hubbur riyasah dengan hubbul jah (senang pangkat/kedudukan) adalah saling berkaitan. Ia tidak menoleh kepada kelemahan dirinya, seakan-akan dirinya tak ada tolok bandingnya. Jika ada orang di pojok dunia ingin menandingi-nya, tentu itu menyakitkan hatinya, ia akan mendengkinya dan menginginkan lebih baik orang itu mati saja, atau paling tidak hilang pengaruhnya.

Sebab ketujuh, kikir dalam hal kebaikan terhadap sesama hamba Allah. Ia gembira jika disampaikan khabar pada-nya bahwa si fulan tidak berhasil dalam usahanya. Sebaliknya ia merasa sedih jika diberitakan, si fulan berhasil mencapai kesuksesan yang dicarinya. Orang sema-cam ini senang bila orang lain terbelakang dari dirinya, seakan-akan orang lain itu mengambil dari milik dan simpanannya. Ia ingin meskipun nikmat itu tidak jatuh padanya, agar ia tidak jatuh pada orang lain. Ia tidak saja kikir dengan hartanya sendiri, tetapi kikir dengan harta orang lain. Ia tidak rela Allah memberi nikmat kepada orang lain. Dan inilah sebab kedengkian yang banyak terjadi.

Terapi Mengobati Dengki

Hasad atau dengki adalah penyakit hati yang paling berbahaya. Dan hati tidak bisa diobati kecuali dengan ilmu dan amal. Ilmu tentang dengki yaitu hendaknya kita ketahui bahwa hasad itu sangat membahayakan kita, baik dalam hal agama maupun dunia. Dan bahwa kedengkian itu setitikpun tidak membahayakan orang yang didengki, baik dalam hal agama atau dunia, bahkan ia malah memetik manfaat darinya. Dan nikmat itu tidak akan hilang dari orang yang kita dengki hanya karena kedengkian kita. Bahkan seandainya ada orang yang tidak beriman kepada hari Kebangkitan, tentu lebih baik baginya meninggalkan sifat dengki daripada harus menanggung sakit hati yang berkepan-jangan dengan tiada manfaat sama sekali, apatah lagi jika kemudian siksa akhirat yang sangat pedih menanti?

Bahkan kemenangan itu ada pada orang yang didengki, baik untuk agama maupun dunia. Dalam hal agama, orang itu teraniaya oleh Anda, apalagi jika kedengkian itu tercermin dalam kata-kata, umpatan, penyebaran rahasia, kejelekan dan lain sebagainya. Dan balasan itu akan dijumpai di akhirat. Adapun kemenang-annya di dunia adalah musuhmu bergembira karena kesedihan dan kedengkianmu itu.

Adapun amal yang bermanfaat yaitu hendaknya kita melakukan apa yang merupakan lawan dari kedengkian. Misalnya, jika dalam jiwa kita ada iri hati kepada seseorang, hendaknya kita berusaha untuk memuji perbuatan baiknya, jika jiwa ingin sombong, hendaknya kita melawannya dengan rendah hati, jika dalam hati kita terbetik keinginan menahan nikmat pada orang lain maka hendaknya kita berdo’a agar nikmat itu ditambahkan. Dan hendaknya kita teladani perilaku orang-orang salaf yang bila mendengar ada orang iri padanya, maka mereka segera memberi hadiah kepada orang tersebut. Dan sebagai penutup tulisan ini, ada baiknya kita renungkan kata-kata Ibnu Sirin: “Saya tidak pernah mendengki kepada seorangpun dalam urusan dunia, sebab jika dia penduduk Surga, maka bagaimana aku menghasudnya dalam urusan dunia sedangkan dia berjalan menuju Surga. Dan jika dia penduduk Neraka, bagaimana aku menghasud dalam urusan dunianya sementara dia sedang berjalan menuju ke Neraka.”

Sangat sulitnya menerima karakter negatif seseorang karena secara psikologi mungkin memiliki karakter tersebut, seperti bercermin, hanya saja mungkin tidak mau mengakui bahwa diri sendiri memiliki satu, dua atau lebih karakter negatif itu. Sebelum berkomentar dan merasa tidak nyaman terhadap karakter seseorang ada baiknya jika mengetahui dahulu, yang mana karakter negatif. Diri sendiri? tanyalah hati pribadi, karena hati tidak pernah berbohong atau keluarga terdekat atau sahabat kita, karakter macam apakah yg kita miliki? baru setelah kita mengetahuinya, dengan pasrah, sadar, sabar dan tidak munafik “mengobati” karakter negatif tersebut, karena jiwa kita “sakit”. Jiwa yang sakit tidak dapat dengan serta merta dihilangkan secepat kilat dan instan dengan terapi pengobatan psikologi, hanya dengan keimanan dan kedewasaan, jiwa yang sakit dapat sembuh. Pertanyaannya bagaimana melakukan pengobatan itu? perlu ditelusuri sebelumnya asal muasal jiwa yang sakit berasal dari mana? dari kekecewaankah? kesedihan menahun? amarah? dendam? tidak mau menerima kenyataan? tidak puas diri? karena sebagian point-point yang disebutkan tsb dapat dengan mudah merubah karakter baik seseorang menjadi karakter terburuk. Untuk itu silahkan tanyakan dengan jujur pada diri anda sebabnya apa? kategorikan sebab2 tersebut, pilah dan obati satu-satu. Jangan lakukan pengobatan massal atas karakter negatif tersebut, karena emosi kita seringkali menolak untuk menyembuhkan jiwa yang sakit. Jadilah seperti kupu-kupu, dari sesuatu yang buruk menjadi sesuatu yang indah.

Tidak sedikit manusia mencari pengobatan tersebut dengan mendengar, mendatangi ceramah-ceramah, dakwah, seminar motivasi dsb, padahal obat penyembuhannya ada pada diri kita sendiri, hanya kita pura-pura tidak tahu atau rasa itu terhalang oleh keegoisan karena merasa nyaman bersembunyi dalam karakter itu, memakai topeng dan tidak mau mengakui bahwa jiwa kita sakit.

Percuma saja kita mendengarkan dakwah, ceramah, seminar motivasi dll, hasilnya akan nihil juga dan membuang waktu jika kita tidak mau berubah, useless! lalu kita membatin, kenapa harus berubah? jawabannya karena kita makhluk sosial, memerlukan orang lain dalam kehidupan, karena kita tidak bisa berdiri sendiri! jika kita nyaman dengan karakter buruk tersebut, coba tanya orang sekitar, apakah mereka nyaman dengan karakter buruk kita? jawabannya pasti tidak, kemudian kita berkilah, kita hanya manusia biasa tidak luput dari sifat dan karakter buruk atau bersikap masa bodoh, itu berarti kita adalah manusia yang kerdil, pengecut, tidak beradab, barbar, tak punya hati dan hanya akan menambah panjang dan sulitnya pengobatan itu kelak dan seyogyanya kita yang akan merugi dunia dan akhirat. Belum lagi dampaknya bisa turun temurun, bukankah sifat baik dan buruk akan kita wariskan pada anak cucu kita kelak, jadi sebetulnya yang akan merugi adalah berkuadrat-kuadrat menerobos kesetiap kehidupan masa depan.

Mudah menemukan obat itu, bersihkan jiwa kita dari akar penyebabnya dengan : banyak bersyukur, ikhlas menerima hal buruk yang terjadi dalam hidup kita dan gembleng terus keimanan kita, tersenyumlah, karena dengan tersenyum hati yang kecut jadi segar dan lembut, balaslah perbuatan buruk orang lain dengan kebaikan kita tanpa pamrih dan tidak dibuat-buat, sering-seringlah melihat dengan mata lebar dan hati yang jernih dilingkungan sekitar dan sesama kita yang masih kurang beruntung dibanding kita, niscaya sakitnya jiwa kita akan sirna. Mulailah semua itu dari diri kita sendiri…. alhasil orang disekitar kita akan terkontaminasi dengan karakter perubahan kita yang lebih baik.

Jadi tak usah heran, kesal atau marah jika kita menemukan orang yang berkarakter buruk dan sangat menganggu hubungan sosial kita, pahami saja karena justru kita seharusnya prihatin pada mereka karena mereka “sakit” dan kita tidak mau jadi seperti mereka kan?

Tips menghadapi orang-orang yang berkarakter buruk :

1. jangan terpancing emosi atau sakit hati, tetaplah jernih berpikir
2. tak usah membalas apalagi melabrak
3. jangan menjelek-jelekan mereka
4. ramahlah pada mereka
5. jangan kucilkan mereka
6. berbaik sangkalah pada mereka
7. balas dengan perkataan yang sopan
8. ajaklah berbicara empat mata
9. jangan sinis menghadapi mereka
10. kasihanilah mereka dengan mencoba menyadarkan mereka
11. berilah kado
12. maafkan mereka