Rabu, 07 Juli 2010

Bidah Dalam Agama Islam


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikan semua risalah, tidak ada satupun yang ditinggalkan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunaikan amanah dan menasehati umatnya. Kewajiban seluruh umat mengikuti petunjuk Nabi Muhammad ‘Alaihi Shallatu wa sallam, karena sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan.

Wajib bagi seluruh ummat untuk mengikuti beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak berbuat bid’ah serta tidak mengadakan perkara-perkara yang baru karena setiap yang baru dalam agama adalah bid’ah dan setiap yang bid’ah adalah sesat. Tidak diragukan lagi bahwa setiap bid’ah dalam agama adalah sesat dan haram
Bid‘ah (Bahasa Arab: بدعة) dalam agama Islam berarti sebuah perbuatan yang tidak pernah diperintahkan maupun dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW tetapi banyak dilakukan oleh masyarakat sekarang ini. Hukum dari bidaah ini adalah haram. Perbuatan dimaksud ialah perbuatan baru atau penambahan dalam hubungannya dengan peribadatan dalam arti sempit (ibadah mahdhah), yaitu ibadah yang tertentu syarat dan rukunnya.

Pemakaian kata tersebut di antaranya ada pada :

Firman Allah ta’ala : بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ

” (Dialah Allah) Pencipta langit dan bumi.” (Q.s.2:117)

Firman Allah ta’ala : قُلْ مَا كُنتُ بِدْعاً مِّنْ الرُّسُلِ

” Katakanlah (hai Muhammad), “ Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rosul-rosul.” (Q.s:46:9)

Perkataan اِبتدع فلانٌ بدعة

Maknanya: Dia telah merintis suatu cara yang belum pernah ada yang mendahuluinya.

Perkataan هذاأمرٌبديعٌ

Maknanya: sesuatu yang dianggap baik yang kebaikannya belum pernah ada yang menyerupai sebelumnya. Dari makna bahasa seperti itulah pengertian bid’ah diambil oleh para ulama.

Jadi membuat cara-cara baru dengan tujuan agar orang lain mengikuti disebut bid’ah (dalam segi bahasa).

Sesuatu perkerjaan yang sebelumnya belum perna dikerjakan orang juga disebut bid’ah (dalam segi bahasa).

Terlebih lagi suatu perkara yang disandarkan pada urusan ibadah (agama) tanpa adanya dalil syar’i (Al-Qur’an dan As-Sunnah) dan tidak ada contohnya (tidak ditemukan perkara tersebut) pada zaman Rosulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam maka inilah makna bid’ah sesungguhnya.

Secara umum, bid’ah bermakna melawan ajaran asli suatu agama (artinya mencipta sesuatu yang baru dan disandarkan pada perkara agama/ibadah).

Para ulama [1] salaf telah memberikan beberapa definisi bidah. Definisi-definisi ini memiliki lafadl-lafadlnya berbeda-beda namun sebenarnya memiliki kandungan makna yang sama.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,Bidah dalam agama adalah perkara yang dianggap wajib maupun sunnah namun yang Allah dan rasul-Nya tidak syariatkan. Adapun apa-apa yang Ia perintahkan baik perkara wajib maupun sunnah maka harus diketahui dengan dalil-dalil syariat.

Imam Syathibi, bid’ah dalam agama adalah Satu jalan dalam agama yang diciptakan menyamai syariat yang diniatkan dengan menempuhnya bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada Allah.

Ibnu Rajab, Bidah adalah mengada-adakan suatu perkara yang tidak ada asalnya dalam syariat. Jika perkara-perkara baru tersebut bukan pada syariat maka bukanlah bidah, walaupun bisa dikatakan bidah secara bahasa

Imam as-Suyuthi, beliau berkata, Bidah adalah sebuah ungkapan tentang perbuatan yang menentang syariat dengan suatu perselisihan atau suatu perbuatan yang menyebabkan menambah dan mengurangi ajaran syariat.

Dengan memperhatikan definisi-definisi ini akan nampak tanda-tanda yang mendasar bagi batasan bidah secara syariat yang dapat dimunculkan ke dalam beberapa point di bawah ini :

Bahwa bidah adalah mengadakan suatu perkara yang baru dalam agama. Adapun mengadakan suatu perkara yang tidak diniatkan untuk agama tetapi semata diniatkan untuk terealisasinya maslahat duniawi seperti mengadakan perindustrian dan alat-alat sekedar untuk mendapatkan kemaslahatan manusia yang bersifat duniawi tidak dinamakan bidah.

Bahwa bidah tidak mempunyai dasar yang ditunjukkan syariat. Adapun apa yang ditunjukkan oleh kaidah-kaidah syariat bukanlah bidah, walupun tidak ditentukan oleh nash secara khusus. Misalnya adalah apa yang bisa kita lihat sekarang: orang yang membuat alat-alat perang seperti kapal terbang,roket, tank atau selain itu dari sarana-sarana perang modern yang diniatkan untuk mempersiapkan perang melawan orang-orang kafir dan membela kaum muslimin maka perbuatannya bukanlah bidah. Bersamaan dengan itu syariat tidak memberikan nash tertentu dan rasulullah tidak mempergunakan senjata itu ketika bertempur melawan orang-orang kafir. Namun demikian pembuatan alat-alat seperti itu masuk ke dalam keumuman firman Allah taala,Dan persiapkanlah oleh kalian untuk mereka (musuh-musuh) kekuatan yang kamu sanggupi.Demikian pula perbuatan-perbuatan lainnya. Maka setiap apa-apa yang mempunyai asal dalam sariat termasuk bagian dari syariat bukan perkara bidah.

Bahwa bidah semuanya tercela (hadits Al ‘Irbadh bin Sariyah dishahihkan oleh syaikh Al Albani di dalam Ash Shahiihah no.937 dan al Irwa no.2455)

Bahwa bidah dalam agama terkadang menambah dan terkadang mengurangi syariat sebagaimana yang dikatakan oleh Suyuthi di samping dibutuhkan pembatasan yaitu apakah motivasi adanya penambahan itu agama. Adapun bila motivasi penambahan selain agama, bukanlah bidah. Contohnya meninggalkan perkara wajib tanpa udzur, maka perbuatan ini adalah tindakan maksiat bukan bidah. Demikian juga meninggalkan satu amalan sunnah tidak dinamakan bidah. Masalah ini akan diterangkan nanti dengan beberapa contohnya ketika membahas pembagian bidah. InsyaAllah.

Bidah merupakan pelanggaran yang sangat besar dari sisi melampaui batasan-batasan hukum Allah dalam membuat syariat, karena sangatlah jelas bahwa hal ini menyalahi dalam meyakini kesempurnaan syariat.Menuduh Rasulullah Muhammad SAW menghianati risalah, menuduh bahwa syariat Islam masih kurang dan membutuhkan tambahan serta belum sempurna. Jadi secara umum dapat diketahui bahwa semua bid’ah dalam perkara ibadah/agama adalah haram atau dilarang sesuai kaedah ushul fiqih bahwa hukum asal ibadah adalah haram kecuali bila ada perintah dan tidaklah tepat pula penggunaan istilah bid’ah hasanah jika dikaitkan dengan ibadah atau agama sebagaimana pandangan orang banyak, namun masih relevan jika dikaitkan dengan hal-hal baru selama itu berupa urusan keduniawian murni misal dulu orang berpergian dengan unta sekarang dengan mobil, maka mobil ini adalah bid’ah namun bid’ah secara bahasa bukan definisi bid’ah secara istilah syariat dan contoh penggunaan sendok makan, mobil, mikrofon, pesawat terbang pada masa kini yang dulunya tidak ada inilah yang hakekatnya bid’ah hasanah. Dan contoh-contoh perkara ini tiada lain merupakan bagian dari perkara Ijtihadiyah

Kontroversi Bidah

Bermunculannya kelompok-kelompok Islam yang membawa pemikiran keagamaan baru yang kerap menganggap bid’ah (mengada-ada) tradisi ritual kalangan nahdliyyin (sebutan untuk warga Nahdlatul Ulama/NU) ditanggapi oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Rois Syuriah PBNU KH Ma’ruf Amin menegaskan, bid’ah yang lebih besar adalah pemikiran keagamaan yang tidak berlandaskan pada madhab apapun.

“Pemikiran yang tidak menggunakan madhab itulah yang justru merupakan bid’ah yang lebih besar,” kata Kiai Ma’ruf dalam sambutannya saat membuka Halaqah Dakwah II yang digelar Pimpinan Pusat (PP) Lembaga Dakwah (LD) NU di Asarama Haji, Pondok Gede, Jakarta, Sabtu (2/9).

Menurut Kiai Ma’ruf, begitu panggilan akrab kiai yang juga Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia ini, hal itulah yang terjadi dewasa ini dalam khasanah pemikiran ke-Islam-an. Marak sekali kelompok yang mengatasnamakan Islam dengan begitu mudahnya mem-bid’ah-kan, bahkan mengkafirkan serta menganggap sesat orang lain.

Demikian juga ia menyinggung bermunculannya gerakan keagamaan yang mengarah pada liberalisme pemikiran. Gerakan itu, katanya, terjadi sebagai akibat dari pemikiran keagamaan yang tanpa menggunakan landasan madhab apapun.

Menurut cucu ulama besar Syeikh Nawawi al Bantani ini, NU, sebagai organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia, bukanlah organisasi yang liar. “NU itu bukan organisasi yang liar, bukan organisasi yang liberal tanpa landasan. Bukan pula organisasi yang konservatif, jumud atau stagnan. Melainkan organisasi yang dinamis,” terangnya di hadapan para peserta halaqah yang merupakan para da’i NU.

Dijelaskan Kiai Ma’ruf, meski terdapat sejumlah madhab, tapi NU mencoba untuk selektif menggunakannya. Dalam bidang akidah, NU menganut madhab yang dikembangkan Abu Hasan al Asy’ari (Asy’ariyah) dan Abu Mansur al Maturidi (Maturidiyah). Sementara dalam bidang fikih, mengikuti empat madhab, Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Imam Hambali dan Imam Maliki. Sedangkan dalam bidang tasawuf mengikuti Imam Ghozali.

Keseluruhan madhab itu yang oleh NU dirangkum dalam fikrah nahdliyyah (landasan berpikir kalangan nahdliyyin), lanjut Kiai Ma’ruf, merupakan bukti bahwa anggapan bid’ah yang kerap diarahkan pada NU adalah keliru. “Ini merupakan ‘master’ dari pada kerangka berpikir orang NU. Inilah yang menjadi dasar bagi NU dalam berpikir, bersikap dan bertindak,” katanya.

Lebih lanjut, Kiai Ma’ruf menjelaskan, fikrah nahdliyyah itu tercermin dalam lima sikap yang menjadi ciri khas NU. Antara lain, tasawuthiyah (moderat), tasamuhiyah (toleran), islahiyah (perbaikan/reformatif), tathohurriyyah (dinamis) dan manhajiyah (metodologis). “NU itu selalu di atas rel dalam cara pikirnya,” tandasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar