Rabu, 07 Juli 2010

Rachel Corrie, Relawan Amerika Tewas Dilindas Buldoser Israel Bela Keluarga di Palestina Namanya Gantikan Kapal Mavi marmara

Kegigihan Rachel Corrie dalam memperjuangkan hak orang palestina yang ditindas dikenang oleh dunia, khususnya pejuang kemanusiaan. Saat ini nama relawan tersebut digunakan nama kapal para aktivis pro-Palestina untuk menggantikan kapal Mavi Marmara. Kapal itu diharapkan menembus blokade Israel dengan tanpa takut mengikuti kegigihan Rachel Corrie.

16 Maret 2003, Rachel Corrie, seorang perempuan muda warga negara Amerika Serikat, meninggal dunia dengan cara yang tragis: dilindas buldoser Israel buatan AS. Hari itu, Corrie ada di Kota Rafah, Palestina, bersama teman-temannya dari International Solidarity Movement, menyaksikan penyerbuan tentara Israel ke kota itu. Dengan dalih mencari “teroris”, tentara Israel menyerang Rafah dengan amunisi lengkap.

Peluru-peluru berdesing, tank bergerak mencari mangsa, dan buldoser merubuhkan rumah-rumah warga setempat. Corrie mendidih melihat semua itu. Tatkala melihat sebuah buldoser Israel hendak menghancurkan sepetak rumah warga Palestina, Corrie berlari menyongsongnya. Mengenakan jaket jingga terang, Corrie berdiri tegap di depan buldoser itu. Tapi buldoser tak berhenti. Teriakan para warga tak digubris. Naas, Corrie akhirnya terlindas buldoser itu. Ia menemu ajal di Rumah Sakit Najar.

Hari itu Corrie memang telah tiada, tapi kita bisa membaca jejak perjuangannya hingga kini dari catatan hariannya. Agustus 2008 lalu, buku yang berisi kumpulan catatan harian Rachel Corrie telah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dengan judul Let Me Stand Alone (Biarkan Aku Berdiri Sendirian).

Buku setebal 526 halaman yang diterbitkan Madia Publisher itu memuat pemikiran-pemikiran Corrie perihal perang, kemanusiaan, gaya hidup masyarakat modern, dan berbagai soal lainnya. Buku itu merupakan risalah yang mengecam perang sebagai sesuatu yang menodai kemanusiaan. Pengkotakan manusia karena perang, menurut Corrie, adalah sesuatu yang keji sebab manusia sebenarnya adalah saudara. “Mereka adalah kita. Kita adalah mereka,” begitu kata Corrie.

Lahir dari Olympia, AS, Corrie telah menjadi relawan kemanusiaan sejak usia belia—ia meninggal pada usia yang juga amat muda: 23 tahun. Keprihatinannya terhadap perang dan tragedi kemanusiaan mulai menemukan bentuknya tatkala ia tiba di Rusia sebagai relawan International Solidarity Movement. Saat itu, sebagaimana termaktub dalam catatan hariannya, Corrie mulai merasakan Amerika sebagai sesuatu yang asing. “Amerika tak mempesonaku lagi. Ia tak mampu memikatku lagi. Ia pudar dan terlipat di pinggiran pikiranku….” tulis Corrie dalam catatan hariannya.

Buku Let Me Stand Alone merupakan contoh yang menarik tentang bagaimana para perempuan yang menyaksikan perang dan kekerasan dari dekat kemudian mengekspresikan gagasannya melalui medium tulisan. Sejarah mencatat, cukup banyak perempuan yang terlibat dalam perang kemudian menuliskan catatan harian atau sebuah risalah khusus mengenai perang.

Laksmi Pamuntjak pernah menulis kajian apik perihal dua perempuan yang sama-sama menulis buku soal perang: Simone Weil dan Rachel Bespaloff. Dalam buku bertajuk Perang, Langit, dan Dua Perempuan (Nalar, 2006), Laksmi mengisahkan bagaimana Weil dan Bespaloff bergulat dengan realitas Perang Dunia Kedua dan kemudian sama-sama mencoba melakukan tafsir atas kekerasan yang gila itu. Uniknya, keduanya sama-sama menafsirkan perang dan kemanusiaan melalui epos terkenal karya Homeros, Illiad.

Weil dan Bespaloff—keduanya sama-sama keturunan Yahudi yang tinggal di Prancis saat perang mulai merajalela—tampaknya mencoba menganalogikan Perang Dunia Kedua dengan Perang Troya yang dikisahkan dalam Illiad. Esai Weil soal Illiad terbit pertama kali tahun 1940 dengan judul L’Illiade, ou le poeme de la force yang berarti Illiad, atau Sebuah Puisi tentang Kekerasan. Sementara itu, esai Bespaloff—yang sering dianggap merupakan tanggapan atas esai Weil meski Bespaloff sendiri menampik tudingan itu—terbit tahun 1943 dengan judul De l’Illiade. Kedua esai itu kemudian disatukan dalam buku War & Illiad pada 2005.

Sama-sama perempuan yang mencoba menafsir Illiad, menurut Laksmi, Weil dan Bespaloff menghasilkan renungan yang berbeda soal perang. Weil lebih pasifis: ia menolak kekerasan dalam bentuk apapun sehingga baginya manusia yang terlibat dalam perang—baik mereka yang baik atau jahat—sebenarnya sama saja. Mereka yang terlibat dengan kekerasan—dengan niat baik atau jahat—bagi Weil, akan menuju akhir yang sama: kehancuran.

Sementara itu, Bespaloff melihat perang dengan sebuah sikap rendah hati yang tak hitam putih: perang tidak hanya berisi kekejian yang menggila, tapi juga hal-hal yang patut dikagumi, seperti semangat manusia berkorban demi sesamanya. Bagi Bespaloff, terlibat dalam suatu perang tak mengharuskan manusia berhenti memiliki harapan dan kebaikan.

Perempuan lain yang tersohor karena catatannya mengenai perang adalah Anne Frank. Tak tanggung-tanggung, ia adalah tokoh yang oleh Majalah Times dimasukkan ke dalam satu dari 100 Tokoh Abad 20 bersama nama-nama besar dunia seperti Lenin, Stalin, Mahatma Gandhi, dan Roosevelt. Anne Frank adalah gadis belia asal Belanda yang bersembunyi selama dua tahun saat tentara Nazi Jerman menyerang negerinya.

Buku hariannya merekam hari-hari Anne dalam masa sembunyi itu dan bagaimana perubahan dramatis terjadi di negerinya selama Perang Dunia Kedua. Buku yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul Catatan Harian Anne Frank (Jalasutra, 2006) itu telah dibaca lebih dari 10 juta manusia dan menjadi salah satu autobiografi yang paling disukai sepanjang waktu.

Sama seperti catatan Corrie serta esai Bespaloff dan Weil, buku Anne Frank mengingatkan kita betapa kekerasan dan perang bukan hanya menghasilkan penderitaan yang memedihkan. Di tengah perang dan kekerasan, manusia juga bisa menuliskan catatan yang menginspirasikan banyak orang. Risalah-risalah itu adalah mutiara yang bersinar di antara tumpukan mayat, genangan darah, dan isak tangis manusia akibat perang.

Rachel Corrie. Sejak Olympia Movement for Justice and Peace (OMJP), Olympians for Peace in the Middle East (OPME), Students Educating Students about the Middle East (SESAME), Olympia Fellowship of Reconciliation (FOR) hingga International Solidarity Movement (ISM) disuplai energi kemanusiaan olehnya untuk meneriakkan kata “Merdeka!” Karena penjajahan yang diprakarsai negaranya (AS), Inggris dan Negara-negara Eropa masih berlangsung di hampir setiap sudut bumi ini.

Dengan pilihan merdeka, Rachel Corrie pergi ke Palestina. Rachel mempelajari isu tak masuk akal Palestina yang berhembus ke telinga dunia dengan kata “konflik” Palestina-Israel. Akhirnya dia dapati kenyataan bahwa Israel menjajah Palestina sejak lebih setengah abad lampau.

“Rachel, untuk pergi ke Palestina, kewajibankah? Tak seorangpun menyalahkanmu untuk mengurungkan niat itu,” ujar Mama Rachel. Rachel menjawab pasti, “Barang-barang sudah kukemas. Rasa takut itu manusiawi. Tapi kupikir, melakukannya tak mustahil. Harus kucoba, Mam.” Seatraktif apapun bujukan keluarganya, niat Rachel tak tergoyahkan. Tekad telah bulat, “Goodbye Olympia…”

Januari 2003. Rachel berangkat ke Israel untuk transit ke Tepi Barat. Setibanya di tanah para pengungsi itu, dia langsung bergabung bersama insan internasionalis (dari Inggris, Jerman, Itali dll) di International Solidarity Movement (ISM); wadah para pegiat kemanusiaan anti penjajahan. Pergerakan ini hanya memiliki dua syarat partisipasi: Pertama, pegiatnya yakin bahwa bangsa Palestina berhak merdeka berdasarkan hukum internasional dan resolusi PBB. Kedua, pegiatnya hanya menggunakan cara tanpa kekerasan untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa Palestina.

Ketika tiba di Rafah, Rachel saksikan tank, bulldozer, menara-menara sniper dan pos-pos penggeledahan Israel bertengger di antara puing-puing bekas pemukiman penduduk Gaza. Tembok baja raksasa dibangun di reruntuhan dekat perbatasan Mesir. Matanya menyapu sekeliling; tampak orang-orang Palestina bertahan, meski penindasan terus berlangsung. Wajah-wajah lusuh itu menjalani hidup serba kekurangan, menderita dan menunggu giliran direnggut maut. Itulah kisah jejakan pertama Rachel di bumi Palestina, seperti yang dikisahkan Craig Corrie, Mama Rachel Corrie.

Rachel abstraksikan bahaya di daratan gersang itu. Debam-debam ledakan nyaris tak berjedah diselingi suara peluru-peluru yang dimuntahkan. Sesekali jerit ketakutan penduduk samar terdengar. “Bisakah kau dengar itu…? Bisakah kau dengar itu…?” ujar Rachel terbata-bata saat pertama kali menelepon mamanya dari rumah seorang Palestina tempat dia tinggal.

Di Rafah, Rachel dan pegiat kemanusiaan lainnya menjadi benteng hidup, berdiri mengelilingi pekerja air kota Palestina yang menggali sumur. Dia hadang moncong laras panjang sniper-sniper militer Israel yang berada di menara benteng. Desir angin panas membahanakan deru misil-misil, tak hanya di Palestina, tapi ke seantero jagad.

Rachel dan rekan-rekan terus berdiri mengelilingi sumur-sumur yang sedang digali para pekerja hingga lewat tengah malam. Demi setetes air agar basahi tenggorokan pengungsi Palestina yang terkurung sejak lama di bui Gaza. Hanya itu satu-satunya cara, setelah kebun zaitun penduduk Palestina dilindas buldoser-buldoser tentara IDF (tentara pertahanan Israel), setelah tentara-tentara Israel menimbun sumur-sumur dengan puing-puing rumah penduduk.

Rachel mengasuh bocah yatim massal Palestina dalam naungan Children’s Parliament. Merekalah yang memantapkan kedewasaan Rachel. Melalui mereka, Rachel bisa berbahasa Arab. Melalui Rachel mereka berkenalan dengan bahasa Inggris.

Meski berada dalam situasi gawat di Rafah, Rachel dan kawan-kawan sempat berdemonstrasi menentang militer AS yang meluluhlantak Irak pada 15 Februari 2003. “Ini salah satu tragedi terbesar dalam sejarah,” tutur Rachel.

Kampung halaman: Olympia atau Gaza? Di mata Rachel sama pentingnya. Rachel menjadi tambang yang menyimpul komitmen persaudaraan Gaza-Olympia. Wanita, anak-anak bergabung dalam pekan raya persaudaraan prakarsa Rachel itu.

Rachel menghadang tentara IDF yang hobi meluluhlantak pemukiman penduduk Palestina terutama Gaza. Rachel sengaja menghuni rumah penduduk yang menjadi incaran buldoser-buldoser Zionis-Israel. Rachel sadar, hak hidup merdeka milik semua bangsa, termasuk bangsa Palestina. Ya, Rachel tahu, hukum internasional harusnya melindungi ribuan orang di Rafah, Jalur Gaza. Tak ada hak siapapun untuk memusnahkan bangsa lain, apapun dalihnya, termasuk dalih pendirian negara ilegal Israel dan perluasan wilayahnya oleh IDF dengan membasmi penduduk di daratan berbatasan Mesir itu.

16 Maret 2003. Bersama tujuh pejuang internasional kemanusiaan dari Amerika dan Inggris, Rachel rela menjadi benteng hidup agar sisa rumah-rumah warga Palestina selamat dari serudukan buldoser Caterpillar D-9R milik tentara Israel. Rachel dan aktivis ISM lainnya yakin, bangsa Palestina berhak hidup aman di rumah mereka, di sekolah bahkan di dalam bis. Rachel berprinsip; penjajahan Israel atas bangsa Palestina harus berakhir secepatnya. Pembantaian tak pernah dilakukan orang-orang beradab, apalagi dengan dalih perluasan wilayah. “Mungkin aksi damai efektif sebagai solusi hingga terhenti pembantaian orang-orang Palestina. Sebagaimana penduduk Amerika dan seluruh dunia bisa hidup merdeka, demikian Palestina,” tutur Rachel.

16 Maret 2003. Dua bulldoser dan tank-tank Israel melaju kencang di jalanan Hi Salam, Rafah, Jalur Gaza, perbatasan Mesir menuju rumah-rumah penduduk Palestina. Satu buldoser dikendarai operator, dipandu seorang tentara yang berhenti tepat di depan rumah Nasrallah, salah satu keluarga di Rafah. Sudah beberapa hari Rachel tinggal di dalamnya. Bukan sekedar menumpang tidur, tapi Rachel sengaja menghendaki tentara IDF mengurungkan niat membongkar rumah itu karena keberadaannya. Juga, Rachel menegaskan tekadnya untuk bersama warga Palestina memperjuangkan kemerdekaan. Kesan seram ini dipotret Rachel melalui e-mail yang dikirim kepada Mamanya: Dua kamar depan rumah mereka tak dapat digunakan. Dinding-dindingnya hancur ditembus peluru Israel. Seluruh anggota keluarga; tiga anak dan dua pasang suami istri tidur di ruang tengah. Aku tidur di lantai bersama anak perempuannya, Iman dalam satu selimut.

Sekitar jam 5 sore, buldoser meraung-raung meminta tumbal. Saat melintas, rantai roda baja itu menyemburkan onggokan tanah kering hingga menimpuk aktivis-aktivis yang menjadi benteng hidup rumah warga Gaza itu. Seorang aktivis Amerika terlempar berguling-guling sebelum akhirnya tersangkut di kawat berduri dan seorang aktivis Inggris terjepit dinding. Buldoser D9R Israel siap melindas rumah itu, Rachel bergegas lari menghampiri. Dia tahu, keluarga Nasrallah berada di dalamnya. Dia hadang buldoser itu selayak Polantas menghentikan mobil di jalan raya. Aksi ini biasa dilakukan aktivis ISM sebelumnya.

Buldoser Israel tak berhenti. Aktivis-aktivis ISM lain menjerit histeris melambai-melambaikan tangan. Mereka ketakutan. Raungan buldoser menindih semua suara. Melihat D-9R semakin bergairah menyeruduk, Rachel berupaya memanjat gundukan tanah yang dikeruk pisau buldoser agar tak tertelan. Posisi Rachel di atas gundukan itu cukup tinggi, pasti tentara IDF yang mengoperasikan kendaraan baja itu melihatnya. Tapi serdadu itu tetap tancap gas. Rachel terbanting kemudian terseret pisau Bulldozer. D9R terus melaju. Rantai-rantai baja bergemeretak melindas Rachel, kemudian mundur. Tersisa tubuh hancur Sang gadis Olympia.

Teman-teman Rachel bergegas menghampiri. Rachel masih hidup kala itu. Dia sempat berkata, “Sepertinya punggungku remuk.’’ Tak lama ambulan Palestina datang. Saat itu dipastikan tiada harapan hidup bagi Rachel. Gadis berambut pirang itu dinyatakan meninggal beberapa saat setelah tiba di rumah sakit lokal.

Sayang, Rachel Corrie berada di pihak yang “salah.” Dia mati dilindas buldoser Israel. Karena alasan itulah pemerintahnya (Amerika Serikat) mendiamkan dan menghentikan kasusnya.

Rachel Corrie, abadilah namamu sebagai pejuang kemanusiaan. Engkaulah energi hidup yang menghidupkan.

Namanya Diabadikan Sebagai Nama Kapal Yang Akan Menembus Blokade Israel

Kegigihan Rachel Corrie dalam memperjuangkan hak orang palerstina yang ditindas dikenang oleh dunia, khususnya pejuang kemanusiaan. Saat ini nama relawan tersebut digunakan nama kapal para aktivis pro-Palestina untuk menggantikan kapal Mavi Marmara. Kapal itu diharapkan menembus blokade Israel dengan tanpa takut mengikuti kegigihan Rachel Corrie.

Kegagalan enam kapal misi kemanusiaan mancanegara mencapai Gaza akibat serangan brutal Israel, Senin (31/5/2010), tidak menyurutkan semangat para aktivis. Mereka berjanji untuk kembali mencoba menembus blokade Israel terhadap Gaza dengan memberangkatkan MV Rachel Corrie, kapal dagang yang dibeli para aktivis pro-Palestina.

Pihak penyelenggara misi, Selasa, mengatakan bahwa kapal yang menyandang nama aktivis perempuan Amerika yang tewas di Jalur Gaza pada 2003 itu sudah diberangkatkan dari Malta, Senin. Tekad para aktivis itu ditanggapi seorang pejabat Israel dengan mengatakan bahwa pihaknya akan menghambat misi kapal tersebut. Kondisi ini kembali memunculkan konfrontasi baru setelah insiden Senin berdarah. “Kami berinisiatif mendobrak blokade Israel terhadap satu setengah juta warga Gaza. Misi kami tidak berubah dan ini menjadi misi ‘flotilla’ terakhir,” kata Greta Berlin, aktivis Gerakan Pembebasan Gaza yang berbasis di Siprus ini

* Kumpulan catatan Rachel Corrie sejak Rusia hingga Palestina berikut reportasenya selama di Gaza pada akhir 2002 dan 2003 dengan judul LET ME STAND ALONE: Goresan Pena Gadis Amerika yang Dilindas Buldoser Israel Hidup-hidup di Palestina, telah diterbitkan oleh penerbit MADIA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar